Lihat ke Halaman Asli

Perjuangan Maritim: Gelorakan Masa Depan dan Tantangan Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan

Diperbarui: 28 Mei 2024   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : World Bank and U.S Energy Information Administration

           

            Pada tahun 1947, China menerbitkan peta baru yang mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan sebagai wilayahnya. Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di Kawasan ASEAN, termasuk beberapa negara yang juga berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yakni Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. 

Peta baru tersebut dikenal dengan istilah "Sembilan Garis Putus-putus" atau Nine-Dashed Line, yang didasarkan pada sejarah kekuasaan tradisional China di masa lalu. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menyatakan bahwa klaim laut harus didasarkan pada Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS, 1982). Hal tersebut membuktikan bahwa China tidak memiliki regulasi hukum internasional yang kuat mengenai Nine-Dashed Line (sekarang Tenth-Dashed Line) yang terkandung dalam UNCLOS.

Sumber : westjavatoday.com

            China menolak untuk mengakui batas wilayah perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Sementara itu, Indonesia bersikeras menolak untuk mengakui Nine-Dashed Line dan mempertahankan ZEE Laut Natuna Utara atas dasar hukum international yang juga diakui negara lain. Oleh sebab itu, topik ini sangat penting untuk dibahas pada KTT ASEAN ke-43 yang akan dilaksanakan pada bulan September 2024 di Jakarta. Tidak hanya mengenai batas wilayah dan peta, tetapi juga mengenai masa depan demi stabilitas dan keamanan di kawasan ASEAN.

            Indonesia sebelumnya tidak pernah mengklaim wilayah perairan dari Laut China Selatan. Namun, setelah China mengklaim secara sepihak terhadap sebagian besar wilayah perairan Laut China Selatan, yang mana di dalamnya termasuk bagian dari ZEE Indonesia, Indonesia "pasang badan" untuk mempertahankan kedaulatannya. Berbagai tindakan dilakukan oleh China untuk menggoyahkan Laut Natuna Utara, mulai dari illegal fishing (CNN Indonesia, 2021), kapal perang China yang masuk wilayah Laut Natuna Utara (Tempo.co, 2021), hingga pengeboran minyak di wilayah Laut Natuna Utara (CNN Indonesia, 2021).

            Berdasarkan Resolusi UNCSGN Nomor 4 Tahun 1967 di Geneva, Indonesia disarankan untuk membuat badan nasional terkait nama geografi wilayah. Atas dasar tersebut, Indonesia menerbitkan peta NKRI baru pada tahun 2017 yang memfokuskan pada perbatasan laut Indonesia dengan negara di sekitarnya. 

Selain itu, nama Laut China Selatan juga sudah diganti menjadi Laut Natuna Utara. Perubahan nama laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang semula Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara, menjadi salah satu keputusan strategis Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan wilayah maritimnya. 

Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia saat itu, menyatakan bahwa perubahan nama tersebut ditujukan sebagai salah satu upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil laut, yang tentunya menuai pro dan kontra.

Sumber : big.go.id

Adapun dampak positif setelah perubahan nama Laut Natuna Utara adalah sebagai berikut :

  • Meningkatkan potensi sumber daya alam yang bisa dieksploitasi demi kemakmuran rakyat.
  • Memperjelas kepastian hukum dan batas negara sehingga meminimalisir konflik dengan negara yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna Utara.
  • Meningkatkan kepercayaan diri bangsa Indonesia pada kedaulatan teritorial laut.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline