Lihat ke Halaman Asli

Maria Gracia Virginia

Sriwijaya University Student

Relevansi Kautilya (Arthasastra) di Era Modern?

Diperbarui: 3 Desember 2021   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Menurut Indian Defence Review, Arthashastra Kautilya ditulis pada sekitar abad kedua hingga ketiga sebelum masehi. Namun Arthasastra yang ditulis tersebut, sempat menghilang selama berabad-abad dan kembali ditemukan pada tahun 1904. Hal tersebut tidak langsung menjadi perhatian utama dari kalayak. Hal ini dikarenakan pemikir politik barat dan India tidak membahas hal tersebut. Arthasastra sendiri diartikan sebagai buku teks negara, yang sesungguhnya menganalisis isu-isu politik dan strategis seperti prinsip-prinsip pemerintahan, administrasi, ekonomi, hokum, diplomasi dan kebijakan luar negeri, serta urusan militer dan intelijen.

Canakya Pandit adalah penulis Arthasastra sekaligus seorang sarjana di Takshashila yang kemudian menjadi perdana menteri Kemaharajaan Maurya. Ia diberi nama Kautilya atas dasar kecerdasannya akan ilmu politik. Wishnugupta adalah nama lain yang dikaitkan dengan Kautilya. Wisnugupta sendiri adalah seorang perdana menteri yang cerdas, bijaksana dan ahli strategi, politik dan pemerintahan. Selain itu, ada yang menyebutkan bahwa nama Kautilya mirip dengan hal seperti sebuah ejekan yang diberikan oleh para penganut Buddha ketika terjadi gerakan untuk mereformasi sistem kehidupan keagamaan ketika itu. Tidak hanya itu, nama Canakya diasosiasikan sebagai pribadi yang kutila, yaitu orang yang memiliki sifat-sifat licik dalam arti yang posistif. Hal ini dikarenakan ia tidak mudah ditipu, suka membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan. Akhirnya kutila pun diubah menjadi Kautilya (Segara, 2014.)

Jika mengacu pada abad ke 4 Sebelum Masehi, banyak ahli cenderung mempercayai nama Chanakya sebagai penulisnya, meskipun nama Kautilya jelas tertera, dan pada saat bersamaan di akhir ayat kitab ini, muncul nama Vishnugupta. Kautilya tidak diketahui banyak orang semasa dia kecil, dikarenakan hal-hal buruk yang menjadi stereotype masyarakat dan juga adanya legenda yang menceritakan bahwa kepandaian Kautilya tidak pure atau murni, melainkan berdasarkan dari Magadha yang muncul sejak kita masih anak-anak. Namun, sesungguhnya Kautilya memiliki dan mendalami begitu banyak pengetahuan Weda dan Ilmu Politik. Ia mempelajari hal itu, agar mendapatkan strategi politik, bahkan Ia mengambil pendidikan di Universitas Taksasila, universitas yang berpengaruh dan sulit pada saat itu. Ia mengalami kesulitan untuk memasukki universitas tersebut, namun keberuntungan dan berkahnya sangat baik, hal ini dikarenakan Ia menjadi salah satu intelektual muda universitas yang dilibatkan untuk meredam konflik. Setiap selesai kuliah, Ia menjadi pengajar di universtasnya, dan meraih gelar professor. Hal ini semakin jelas, bahwa Kautilya itu sendiri bukan berasal atau muncul dari keluarga sembarangan. Ia telah mendapat banyak ilmu terutama dari orang tuanya, sesuatu yang khas pada keluarga-keluarga brahmana di India masa lalu (Segara, 2014.).

Menurut Indian Defence Review, sejak Kautilya muda dan memasuki usia yang matang, Ia digambarkan sebagai orang yang memiliki karakter yang teguh untuk meyakini apa yang ia yakini sebagai kebenaran. Kautilya memiliki pemahaman yang jelas tentang perbedaan antara sarana dan tujuan, meskipun ia telah memahaminya lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Ini adalah konsep yang banyak dimiliki oleh pemikir strategis saat ini, namun belum sepenuhnya dihargai. Kautilya juga berbicara tentang intrik, misi rahasia dan operasi rahasia dan serangan diplomatik sebagai instrumen kebijakan negara. Ia mengetahui bahwa biaya perang yang mahal sangat sulit didapatkan, oleh karena itu, dia menganjurkan agar kemenangan dapat dicapai dengan baik tanpa pertumpahan darah. Kautilya juga berbicara tentang pemanfaatan semua elemen kekuasaan negara untuk mencapai hasil yang menguntungkan.

Arthasastra adalah bagian pembahasan dari politik ekonomi yang pernah disampaikan oleh perdana menteri. Arthasastra membahas mengenai ilmu kekayaan. Dasar ilmu Arthasastra ini juga bermula dari sistem pemerintahan absolut monarki yang berfokus pada kekuatan atau power. Power yang dimaksud dalam ilmu ini adalah diatur oleh 1 orang berupa raja. Arthasastra itu sendiri memiliki 3 bentuk cara yang dirangkum menjadi Arjena yang mengumpulkan kekayaan. Arjena ini sendiri berarti negara wajib memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya adalah wardana yang berarti meningkat kekayaan, negara juga harus memulai untuk meningkatkan kekayaan atau kesejahteraan bagi masyarakatnya. Yang terakhir adalah Radjana, yang membahas mengenai protection of the wealth. Hal ini berarti negara wajb melindungi wilayah negaranya beserta masyarakatnya.

Prinsip negara yang diterapkan berdasarkan ajaran Kautiliya terbagi menjadi 3, hal tersebut adalah adanya penekanan pada otoritas, otoritas yang diatur oleh raja atau pemimpin, dan juga desentralisasi mengenai pemerintahan yang kuat. Kautilya memiliki 7 teori yang membuatnya merumuskan Arthasastra, hal tersebut adalah Saptanga. Teori Saptanga berasal dari kata sapt yang berarti 7 dan angas yang berarti organ. Sehingga dirumuskan menjadi 7 organ yang berbeda, hal ini merupakan konsep modern yang sangat kontras dari perwujudan negara.

7 angas of the state terdiri dari : Swamin, Amatya, Janapad, Durga, Kosha, Danda, dan yang terakhir Mitra. Swamin berarti raja yang memiliki otoritas untuk melindungi dan memelihara masyarakatnya. Amatya berarti perdana menteri memiliki otoritas untuk memerintah para tentara, berdasarkan otoritas raja. Janapad berarti tempat dimana masyarakat tinggal, Durga berarti keuangan atau anggaran, Danda mengenai keadilan, dimana pihak militer harus menjadi pihak yang kuat untuk melindungi masyarakatnya, raja juga membuat peraturan tentang apa yang harus dilakukan, dan tidak dilakukan, beserta hukumannya. Kosha sendiri mengenai raja yang akan membawa tanggung jawab besar, terutama disaat perang, dan raja juga harus menghubungi masyarakatnya disaat perang, sebagai bentuk dari proteksi atau perlindungan.

Di Era modern, beberapa negara secara tidak langsung menerapkan sistem pemerintahan yang diartikan oleh Kautilya itu sendiri. Role by king, salah satu point yang masih diterapkan oleh beberapa negara hingga saat ini. Hal ini bisa dicontohkan dari beberapa kasus yang terjadi di negara Myanmar ataupun Korea Utara, yang menunjukkan bahwa raja atau pemimpin negara memiliki otoritas penuh untuk mengatur, sehingga masyarakat tidak bisa semudah itu untuk berpendapat atau bahkan membantah perintah yang langsung maupun tidak langsung telah diturunkan oleh raja atau pemimpin negara tersebut.

Terlepas dari hal ini, Kautilya juga seringkali dikaitkan dengan pemikiran Machiavelli. Mereka sama-sama berpendapat bahwa model pemerintahan negara yang lama, lebih mudah untuk diatur. Sedangkan, bentuk pemerintahan yang monarki,berarti menghancurkan keluarga kerajaan. Mereka juga berpandangan bahwa pemimpin atau raja yang baik adalah mereka yang selalu siap untuk bertempur ataupun berperang. Menurut mereka, raja yang ideal adalah raja atau pemimpin yang kejam, tidak memiliki rasa takut. Hal ini dikarenakan, mereka berpendapt bahwa pemimpin negara akan aman selama mereka dibenci. Jikalau pemimpin tidak kejam, dan justru bersikap baik, hal itu justru akan berdampak balik terhadap mereka yang mungkin selanjutnya akan dikecam, karena ketidak tegasannya pemimpin terhadap otoritas atau wilayah mereka, bisa mengancam wilayah dan sistem pemerintahan mereka kedepannya. Pemimpin yang berhasil itu harus belajar tentang sandiwara, harus tahu sejarah, seluk-beluk negara, belajar tentang perang ,dan tidak perlu takut untuk tidak disukai. Mereka menginterpretasikan, bahwa sebaiknya pemimpin harus berada didalam kondisi di tengah-tengah, dimana mereka tidak dibenci ataupun dicintai, mereka juga diminta agar tau kapan waktunya untuk bersikap secara baik maupun buruk. Yang pasti, pemimpin negara tidak boleh takut dipandang buruk atau sebagai seseorang yang kejam.

Menurut Laksamana Madya MP Muralidharan, Arthashastra berbicara secara luas tentang organisasi militer termasuk Kepala Pertahanan dan mencakup setiap konstitusi tentara, pasukan, organisasi yang menjadi peleton dan resimen. Mereka berbicara dan menegaskan mengenai keberadaan infanteri, kavaleri, kereta dan gajah. Hal ini bisa dipastikan bahwa mereka mencakup semua aspek kemampuan pertempuran darat seperti yang dikenal saat itu. Mereka juga mengungkit dan berbicara tentang masalah pelatihan tentara, gaji, gaji, penghargaan dan kehormatan. Kautilya menyebutkan bahwa keluarga tentara yang terbunuh dalam menjalankan tugas akan diberikan penghidupan dan upah, tentu saja ini menggambarkan kepemimpinan negara yang baik, hal ini berarti mereka tidak meninggalkan keluarga dari pihak yang sudah berjuang bagi bangsa dan negaranya begitu saja. Dia juga memperingatkan agar pasukan tidak melakukan konfrontasi tanpa melihat aspek pelatihan dan kemungkinan eskalasi. Mereka membahas taktik dan juga formasi pertempuran. Mereka lebih lanjut berbicara mengenai dukungan medis dan pasokan logistik untuk bersiaga untuk mendorong para pejuang. Arthashastra juga berbicara tentang benteng dan bagaimana benteng musuh dapat diatasi.

Seperti disebutkan sebelumnya, Arthashastra secara luas mencakup diplomasi dan peperangan. Ini menganjurkan bahwa penguasa harus hati-hati memeriksa keuntungan jangka pendek melalui tindakan segera, vis--vis keuntungan jangka panjang, yang dapat dicapai dengan menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Sementara teori Mandala yang disebarluaskan dalam Arthashastra sering dianggap hanya sebagai pengaturan keadaan dalam lingkaran konsentris, gagasannya pada dasarnya adalah salah satu hubungan antarnegara bagian dengan tingkat keramahan atau permusuhannya sendiri yang kompleks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline