Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India. Perokok aktif merupakan individu yang memiliki kebiasaan merokok di dalam hidupnya (Bustan, 1997). Tingginya angka perokok tentunya sejalan dengan angka penjualan rokok, sehingga jumlah dana yang didapatkan oleh negara sebagai hasil dari cukai dan pajak rokok pun semakin besar. Sebagaimana tertuang dalam UU Cukai No 39 Tahun 2007, cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU Cukai. Rokok dikenakan cukai karena merupakan hasil tembakau yang termasuk ke dalam kategori barang kena cukai. Sedangkan, pajak Rokok adalah pungutan berdasar pada cukai rokok yang dipungut pemerintah.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp198,02 triliun sejak 1 Januari - 14 Desember 2022. Angka tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 4,9% dibandingkan pada tahun lalu yang besarnya 188,81 triliun rupiah. Melihat angka tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa konsumsi rokok memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi pendapatan negara. Sehingga, pemerintah memutuskan untuk menyalurkan dana hasil cukai dan pajak rokok untuk penambahan pembiayaan kesehatan sesuai dengan nilai yang terkandung dalam poin SDGs (Sustainable Development Goals) yang ketiga, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Penyaluran untuk pembiayaan kesehatan tersebut terdengar efisien dan terasa bak angin segar bagi sektor kesehatan. Akan tetapi, ketika isu ini digali lebih dalam, ternyata, hasilnya tidak seperti yang direncanakan.
Cukai rokok dijadikan sebagai salah satu alternatif pemerintah untuk menambal defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan -- yang diproyeksikan akan mencapai 16,5 triliun rupiah. Padahal, pemerintah mengungkapkan bahwasanya selama ini, rokok menyebabkan beban keuangan negara karena biaya kesehatan akibat merokok mencapai 17,9 triliun rupiah hingga 27,7 triliun rupiah setahun. BPJS Kesehatan harus menanggung 10,5-15,6 triliun rupiah dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Tanpa disadari, penambalan tersebut membentuk sebuah siklus yang tidak diinginkan, yaitu negara mendapatkan penghasilan dari cukai rokok, kemudian penghasilan tersebut digunakan untuk mengobati orang-orang yang sakit karena merokok. Hal ini sangat ironis dan disayangkan, karena dengan cara ini, masalahnya tidak teratasi hingga ke akarnya. Setelah sembuh, para perokok dapat kembali merokok dan dapat kembali jatuh sakit, sehingga membuat biaya yang harus dikeluarkan untuk pembiayaan kesehatan terus bertambah.
Alih-alih dijadikan alternatif untuk penambahan pembiayaan kesehatan, akan lebih efisien jika penghasilan yang didapatkan dari cukai dan pajak rokok disalurkan untuk memberikan layanan bantuan seperti konseling dengan profesional dan menggiatkan penyuluhan bahaya rokok kepada para perokok agar sekiranya dapat menghentikan kecanduan mereka terhadap rokok, Dengan demikian, tujuan negara untuk membantu rakyat menjadi sehat pun dapat tercapai, tanpa adanya biaya yang ibaratnya "terbuang". Selain itu, angka kematian yang diakibatkan oleh rokok pun akan dapat ditekan.
Referensi
Bustan, M.N, 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, 2007. Undang - Undang Nomor 39 Tahun 2007 Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H