Lihat ke Halaman Asli

virga al farichi

Anggota Polri

Relevansi Penerapan Judicial Restraint di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2024   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Relevansi Penerapan Judicial Restraint di Indonesia

Virga Al Farichi - 1322300018 Program Studi Magister Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Judicial restraint merupakan upaya hakim atau pengadilan untuk membatasi diri dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Menurut Posner dalam doktrin judicial restraint, hal ini dapat diartikan bahwa judicial restraint adalah upaya dari kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain. Pengadilan harus dapat mengekang diri dari kecenderungan bertindak seperti sebuah miniparliament. Salah satu contoh tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan parlementer adalah pembentukan norma atau hukum baru saat memutuskan perkara judicial review.
Pengekangan ini didasarkan pada kesadaran bahwa pengadilan bukanlah lembaga utama dalam sistem politik negara yang menganut sistem negara demokrasi. Atau dapat disimpulkan bahwa judicial restraint menolak menjadikan pengadilan sebagai philosoper kings menurut ajaran Plato tentang negara yang dipimpin para filsuf. Secara sederhana dapat dikatakan dalam pendekatan Judicial Restraint, pengadilan membatasi diri terkait pembentukan kebijakan yang merupakan kewenangan legislatif, eksekutif, dan pembentuk perpu lainnya.
Dari berbagai doktrin terkait Judicial Restraint, pada umumnya merupakan doktrin yang memberikan batasan atas kewenangan pengadilan. Tiga bentuk pembatasan tersebut antara
lain : Pertama, pembatasan terhadap kewenangan atau yuridiksi pengadilan melalui norma -- norma di dalam konstitusi (constitution limitation). Kedua, pembatasan yang penerapan kebijakan internal pengadilan yang bersumber dari kehendak untuk mengekang diri. Ketiga, pembatasan yang dilakukan oleh pengadilan atas dasar doktrin--doktrin tertentu.
Judicial restraint juga pada dasarnya merupakan doktrin hukum yang menyarankan bahwa hakim seharusnya menghormati preseden dan keputusan yang telah dibuat oleh badan legislatif, serta menghindari campur tangan dalam kebijakan publik kecuali benar-benar diperlukan. Di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, doktrin ini sering dibandingkan dengan judicial activism, di mana hakim cenderung lebih berani membuat keputusan yang bisa mengubah kebijakan publik.
Di Indonesia, penerapan judicial restraint belum secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah perlu ada pengaturan khusus mengenai judicial restraint di Indonesia. Analisis ini akan mengeksplorasi argumen-argumen yang mendukung dan menentang pengaturan tersebut, serta relevansinya dalam konteks sistem hukum Indonesia, disertai dengan contoh-contoh penerapan judicial restraint di Indonesia.
Indonesia menganut sistem hukum campuran yang terdiri dari hukum adat, hukum Islam, dan

hukum positif yang sebagian besar berbasis pada sistem hukum kontinental Eropa. Peradilan di Indonesia meliputi Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), serta peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara.
Dalam praktiknya, MA dan MK memegang peran penting dalam menafsirkan undang-undang dan konstitusi. Namun, hingga saat ini Indonesia belum memiliki kerangka hukum yang secara eksplisit mengatur bagaimana hakim harus bersikap dalam menjalankan tugasnya, terutama terkait doktrin judicial restraint.
Contoh Penerapan Judicial Restraint di Indonesia:
1. Kasus Pemilu 2019
Pada Pemilu 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) menghadapi sejumlah gugatan terkait hasil pemilu yang diajukan oleh beberapa pihak, termasuk pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam putusannya, MK menolak sebagian besar gugatan tersebut karena kurangnya bukti yang cukup dan relevan. Keputusan ini menunjukkan penerapan judicial restraint di mana MK memilih untuk tidak mengintervensi hasil pemilu yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kecuali terdapat bukti kuat mengenai adanya pelanggaran serius yang mempengaruhi hasil pemilu secara signifikan.
2. Kasus Pembatalan Peraturan Daerah
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, dalam beberapa kasus, MA memilih untuk tidak membatalkan perda yang kontroversial, seperti perda yang berkaitan dengan pelarangan minuman keras di beberapa daerah. Dalam hal ini, MA menunjukkan sikap judicial restraint dengan menghormati otoritas pemerintah daerah dan legislatif daerah dalam membuat kebijakan lokal, selama tidak secara jelas melanggar konstitusi atau undang- undang nasional.
3. Putusan MK tentang UU Cipta Kerja
Pada tahun 2021, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi secara prosedural, namun memberikan kesempatan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU tersebut dalam jangka waktu dua tahun. MK menunjukkan judicial restraint dengan tidak langsung membatalkan UU tersebut secara keseluruhan, tetapi memberikan kesempatan untuk perbaikan proses legislasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline