Lihat ke Halaman Asli

Moch Tivian Ifni

Writers and socio entrepreneur

Khodam Putut dan Firasat Ayah

Diperbarui: 28 April 2023   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Tivian

Perjalanan dari Kota Malang ke Kota Madiun sekitar tiga jam lebih kalau jalannya sepi tanpa macet. Kami pisah dengan Bayu saat motor kami sudah masuk Kota Kediri.

"Hati-hati, kalian. Sampai bertemu di Madiun" ucap Bayu pamit kepada kami,  belok ke arah lain menuju rumahnya.

Kami pun melanjutkkan perjalanan menuju Kota Nganjuk. Kali ini terjadi lagi, bukan karena mistis tapi sikap Putut. Sesampainya di terminal Kota Nganjuk, Putut berhenti, memarkirkan motornya di terminal. Parkir yang bisa berhari-hari menitipkan kendaraan. Lantas di ajaknya aku naik bus untuk melanjutkkan perjalanan ke Kota Madiun.

"Heran dan bingung!, padahal ada motor kenapa harus naik bus??" Bertanyaku dalam diri atas sikap Putut ini

Aku diam tanpa mempertanyakan sikap Putut itu, ikut saja kehendak Putut karena ini pengalaman pertamaku ke Madiun. Kami naik bus ekonomi jurusan Madiun-Ponorogo karena letak desa Putut memang berada di perbatasan Ponorogo.

Waktu itu bus_nya ramai, kami gak kebagian tempat duduk, terpaksa kami berdiri di lorong bus. Perjalanannya sekitar satu jam lebih. Namun kami berdiri hanya sampai Kecamatan Saradan karena sudah ada banyak penumpang yang turun.

Pemandangan di sekeliling juga indah, banyak kendaraan yang lalu lalang bukan hamparan sawah atau gunung. Sekitar satu jam lebih sedikit, kami bedua sampai desa tempat rumahnya Putut berada. Ternyata bus_nya gak ke terminal Madiun terlebih dulu tapi langsung berhenti di jalan raya tempat desa rumah Putut.

Kami berdua turun dari bus, Putut jalan kaki masuk gang kecil di samping kami turun tadi. Mungkin rumahnya Putut masuk gang, pikirku yang terus mengikuti dibelakangnya. Tak jauh dari gapura gang, Putut belok di sebuah rumah, bangunannya sedikit berbeda seperti ada bangunan model warung di depannya. 

Ternyata Putut mengajakku ngopi dulu sebelum ke rumahnya. Di sana ternyata memang biasa Putut ngopi bersama teman dan bapak-bapak desa karena para pengunjung warung kenal dengan Putut.


Kami memesan kopi, minuman idaman kami, lalu duduk di kursi mirip bayang tanpa sandaran. Putut mengambil makanan ringan, gorengan tempe tipis berbalut tepung dengan saus tomat. Ini berbeda dengan di tempatku, karena biasanya gorengan tempe disajikan dengan sambal petis. Aku coba satu gorengan tempe, renyah sekali seperti kripik dan memang pas disajikan dengan saus tomat biasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline