Sore menyingsing, fajar akan segera tertidur lelap di perantauannya, rutinitas selesai dilakukan, hari ini merupakan hari terakhir saya ujian semester genap. Berharap hasil tanpa adanya SP (Semester Pendek), tanda merah perwujudan nilai yang buruk. Saya, putut dan bayu bergegas untuk balik dari kampus untuk bisa sekedar ngopi bareng di tempat nyaman biasa kita menghabiskan waktu, Joker Coffe namanya. Warkop murah dengan fasilitas lengkap bagi kami, penuh permainan tongkrongan seperti kartu remi, catur dan gaplek. Kami bisa ngopi dengan satu cangkir kopi sampai berjam-jam duduk menikmati permainan, gimana mau cepat habis, kalau minum kopinya setetes demi setetes karena tangan terbelenggu permainan, fokus pikiran pada langkah kemenangan. Hukuman bagi yang kalah pun mengerikan, jongkok sampai menjadi pemenang pertama. Tak jarang ada teman terjatuh, terguling, tak kuat menahan beban hidup, eits, beban tubuhnya. Pemilik joker coffe pun sampai kenal kami, saking seringnya kita kesana. Bahkan ada inisial bagi kami "Kumpulan Mode Hemat". Biasa lah mahasiswa yang gaya tapi modal cekak.
Kami bertiga sendiri bisa dibilang sahabat karib tidak dekat hanya saja merasa senasib dan seperjuangan, mahasiswa angkatan dua ribu sepuluh, Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya. Bahkan kami tinggal satu atap tapi beda rahim loh!, Bayarnya saja yang selalu barengan alias ngontrak.
Waktu itu, saya ke joker coffe dibonceng oleh putut naik motor scopy sedangkan bayu jalan sendiri memakai sepeda smash butut, yang suara knalpotnya mengelegar cempreng mirip suara tikus kejepit. Rute perjalanan ke joker coffe sebetulnya gak jauh kalau dari fakultas kami, jaraknya dua kilometer namun tentu kalian tahu jalan kampus besar berlabel negeri seperti apa?? Ruwet kayak model pelayanan publik di Negara kita. Makanya kami naik motor itu jalan muter jauh lewat gerbang depan, mutari bundaran air mancur utama terlebih dulu. Padahal realitasnya jalan kaki lewat gerbang samping hanya 3 atau 5 menit gitu sudah nyampek. Namanya juga mahasiswa, gengsi besar, gaya nomor satu, urusan duit nomer sekian. Modal nebeng atau minjam pun jadi.
Kami sampai di joker coffe tempat asik, penting murah. Aku turun dulu memesan buat kami bertiga. Sementara bayu dan putut lagi asik menata sepeda, persis juru parkir karena waktu itu full motor parkirannya.
"Mas Reo, biasane yo tiga cangkir" ucapku teriak dimeja kasir memesan kopi favourit.
"Biasane opo, Yan? Biasane beli satu, minum berjam-jam tah?, hahahaha" Tanya Mas Reo, tertawa kencang sekali.
"Kopi sing biasane, mas, gawe arek-arek modal hemat" sahutku penuh luapan suara ledakan bibir karena ramainya pengunjung hari ini.
Teriakakan, sudah hal lumrah dalam memesan minuman di joker coffe, bukan punya interpretasi menantang tapi lebih kepada banyolan sesama teman.
Seusai pesan, saya cari tempat duduk untuk kami, berkeliling ke belakang, full, padat orang. Mencoba ke tengah ada dua sekat ruang kayak bekas kamar yang dibuat tempat lesehan, juga full orang nongkrong. Ke depan, ternyata ada tempat kosong, tepatnya dipojok samping kanan dekat lorong gorong-gorong, ada pompa air diletakkan di atas papan kayu. Tempatnya lesehan dengan tikar bekas banner yang sudah tidak dipakai, cukup untuk 6 orang duduk. Miris memang tapi ini lah realitasnya, menerima keadaan tidak enak meski dengan paksaan atas keinginan sendiri yang begitu berharap bisa nongkrong sebelum pulang ke kampung halaman besok.
Joker coffe sendiri, pemiliknya Mas Reo, orang mojokerto yang merantau usaha kopi di Malang. Bentuk joker coffe modelnya ya rumah karena memang rumah yang dikontrak. Namun sedikit ada perubahan mulai dari pintu, jendela dan beberapa sekat yang sudah dihilangkan demi keleluasan para pengunjunya. Ada sekat dua ruangan yang mirip kamar, tapi itu memang kamar yang aku lihat tadi dibiarkan tetap utuh. Bukan punya tujuan apa, tapi memang karena sekatnya beton jadi tidak bisa dirobohkan dengan sangat mudah.
Putut dan bayu sudah memarkirkan motor, betul lama sekali, persis juru parkir karena lokasi joker coffe sendiri berada dijalan utama yang ramai padat kendaran sehingga parkiran motor harus benar tertata rapi masuk ke halaman. Kalau tidak, bahaya dan panjang urusannya, bisa kena denda Pemerintah Kota Malang mengganggu ketertiban jalan raya. Dengan keadaan seperti itu, harusnya ada juru parkirnya tapi tidak ada. Kalau kata Mas Reo, tidak ada pegawai yang mau, semuanya sudah sibuk urusan pesanan. Jadi ya, dibiarkan pengunjung memarkirkan sendiri motornya. Kalau mobil, parkirnya jauh, nebeng ruko sebelah yang jaraknya ada deh 750 meter.
Kami bertiga duduk di tempat lesehan mewah beralaskan banner dengan bau minyak wangi kotoran yang tak jarang ke cium tepat masuk ke tenggorokkan. Sungguh terlalu mewah, bagai raja yang tak bermarwah.
"Dulinan ap iki, Rek?" Tanyaku menahan bau sedikit renyah di hidung.
"Gimana kalau gaplek, Yan?" Sahut bayu, nampak wajah mengkerut seperti mau muntah.
"Ndang, digas kan, dijipek kunu Le" sahut putut, antusias karena kemarin menang tanpa jongkok sama sekali bermain gaplek.
"Iyo, iyo din, udin" ucap bayu mengerutu, kemarin ia kalah.
Bayu pergi mengambil gaplek masuk ke dalam ruangan, menuju kotak mika seperti rak buku tempat biasanya segala permainan tongkrongan disimpan. Saat bayu masuk, ambil kartu gaplek, nampak di sebelah kiri pintu masuk utama masuk ruangan joker coffe ada tempat kosong yang baru saja ditinggal orangnya. Kami berdua, putut dan saya bergegas langsung menempatinya takut keburu orang lain datang untuk duduk. Kami sudah tidak kuat hidup di tempat raja yang kehilangan marwah. Mental kami, mental kaum prolentar, kaum kelas rendahan.
"Alhamdulillah, Yan. Oleh panggon yang enak. Tikar e yo gak soko banner" ucap Putut bersyukur sejadi-jadinya, sudah kayak dapat uang 1 triliyun.
"Yo, tut. Wis gak betah aku dadi raja kehilangan marwah, penuh bau cacian dan kotoran, hahahhaa" sahutku, bercanda ala anak mahasiswa pemerintahan.