Gonjang ganjing Paska Pilpres 7 April 2019 yang lalu sampai kini belum selesai. Pemenang Pilpres diantara dua pasangan sudah sama-sama kita ketahui, hasil keputusan Mahkamah Konstitusi /MK dan dikuatkan oleh keputusan Komisi Pemilihan Umum/KPU telah menetapkan pasangan Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019, walau pelantikannya nunggu nanti di bulan 20 Oktober 2019, rasanya rakyat sudah tak sabar menunggu untuk pelantikan tersebut, dan memang terasa lama, jika dibandingkan dengan pelantikan dan pengumuman Pilpres di Malaysia atau di Rusia, di kita terasa begitu lambat dan menguras energy.
Dan sekarang rakyat masih tetap harus menunggu lobi-lobi politik para pelitikus, baik yang berada di kubu Jokowi maapun yang berada di kubu Prabowo, bahkan muncul kubu baru Nasdem dan konco-konconya, yang boleh dikatakan bersebrangan dengan kubu Megawati dan konco-konconya juga. Politik yang sering dikatakan " susah dipegang buntutnya" pagi tempe, sore bisa tahu. Siangnya nasi goreng, malamnya bisa nasi uduk , berubah seperti seenaknnya, semaunya, dan rakyat dibuat pusing tujuh kelililing.
Yang tadinya lawan menjadi kawan, yang tadinya berdarah-darah sekarang menjadi bermerah-merah, dan hadir di kongresnya, tanpa tedeng aling aling. Kawan dan lawan menjadi begitu sumir, absurd.
Yang ada adalah kepentingan yang sama. Yang sekarang adalah kursi menteri, walau dibantah dengan berbagai cara-cara, tetap saja istilah politik "dagang sapi" tak bisa dielakkan, siapa kawan siapa lawan tak lagi penting, yang penting siapa dapat apa, dan kursinya dapat banyak.
Dan sebagai pemenang pemilu, PDIP, dalam hal ini Ratunya, Megawati, sudah tak segan-segan lagi minta jatah kepada Jokowi untuk mendapat kursi yang paling banyak, repotnya Jokowo sebagai Presiden, yang dalam struktur kenegaraan adalah orang nomor satu RI, langsung menjawab spontan, iya, saya jaminannya, kerenkan.
Apa boleh buat, rakyat hanya bisa menonton, tak bisa berbuat apa-apa. Karena memang bagi rakyat tak penting siapa menterinya, yang penting sembako harganya terjangkau, listrik tarifnya murah dan segala macam kebutuhan rakyat terpenuhi, sandang, pangan dan papan, benar-benar dalam jangkau rakyat.
Tapi terlepas dari itu semua, saya ada usul tentang tokoh-tokoh yang akan dijadikan menteri, terserah dari partai apa dapat berapa kursi, itu tak penting. Mau dapat sepuluh, lima, empat, dua atau satu kursi setiap partai itu tak penting, yang penting mampu mensejahterakan rakyat.
Bahkan bagi Jokowi pun sebenarnya sudah tak penting amat, karena Jokowi dalam priode kedua ini, sebenarnya tinggal melanjutkan saja, tak perlu takut akan diturunkan oleh partai, karena rakyat sudah memilih langsung Jokowi, dan Jokowi seharusnya juga tak takut didikte oleh PDIP, walaupun Jokowi memang petugas partai.
Repot memang, Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan, di dalam internal PDIP, Jokowo "hanya" petugas partai, yang mau tak mau, harus tunduk pada sang ketua partai, walaupun dibantah, tetap saja Jokowi tunduk, buktinya? Megawati bilang minta menteri paling banyak dan itu wajar sebagai pemenang Pilpres dan Pileg, karena mendapatkan suara terbanyak, Jokowi langsung mengiyakan, salahkah? Tentu saja tidak, bukankah Jokowi punya hak preogratif sebagai presiden yang tak bisa diganggu gugat oleh apa dan siapapun.
Kembali ke niat asal tulisan ini yaitu jangan jadikan 5 tokoh ini menjadi menteri Jokowi, mengapa? Mari kita lihat satu demi satu, agar pilihan Jokowi tidak kepada lima tokoh ini.
Karena kelima tokoh ini, versi saya tentu saja, sudah menjadi milik masyarakat banyak, dengan karakter dan cirinya masing-masing. Bila mereka dijadikan menteri, maka ciri yang melekat padanya bisa hilang. Ibarat macan yang sudah masuk kandang atau seperti macan sirkus, galak tapi penurut oleh pawangnya.