Lihat ke Halaman Asli

Syaripudin Zuhri

TERVERIFIKASI

Pembelajar sampai akhir

Hentikan Semua Ujaran Kebencian

Diperbarui: 11 Juli 2017   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mari semua merunduk dengan hati yang tulus. Sumber: gozirracham.wordpress.com

Setelah sekian lama absen di ruang ini, saya hadir kembali. Sekedar berbagi, bermanfaat atau tidak, saya serahkan pada yang baca tulisan ini. Mengapa absen? Mungkin ada yang bertanya demikian. Alasannya sederhana saja, ini negara mau dibawa ke mana? Hiruk pikuknya terus menerus terjadi, antara ormas  yang saya menuding ormas yang lain, lembaga yang satu menyerang lembaga yang lain, tokoh yang satu menyerang tokoh yang lain, tokoh yang satu dilaporkan ke polisi dan tokoh lain melaporkan balik ke polisi dan seterusnya. Dan rakyatpun bingung dibuatnya, mana yang benar dan mana yang salah menjadi kabur.

Carut marut dan selalu gonjang ganjing. Siapa yang salah? Wah repot kalau mencari yang salah, karena kesalahan paling mudah dicari. Siapapun orangnya, apapun pangkat dan jabatannya, betapapun tinggi ketokohannya di masyarakat, kalau yang dicari kesalahannya pasti ketemu, karena manusia memang diciptakan tidak sempurna, termasuk yang menulis artikel ini. Apa lagi di dunia politik, yang selalu mengejar jabatan tertinggi  di partai atau di pemerintahan, kawan dan lawannya tidak jelas, tergantung pada kepentingannya. Lawan bisa mnejadi kawan bila kepentingannya sama, dan kawan bisa menjadi lawan bila kepentingannya berbeda.

Keluar masuk partai menjadi hal yang lumrah, omong kosong dengan loyalitas partai. Teman seiring bisa di depak, bila kepentingannya berbeda. Partai yang semula dibela mati-matian bisa saja memecetnya bila tokoh tersebut tidak lagi sejalan dengan kebijakan partai. Begitu juga dengan kader partai, bisa hengkang begitu saja bila menurutnya partai tempatnya bernaung tak lagi sejalan dengan pikirannya. Kawan dengan mudah menjadi lawan, dan lawanpun mudah menjadi kawan, semudah membalik telapak tangan. Begitu juga dengan partai yang semula berbeda haluan dengan pemerintah, akan berbalik 180 derajat ketika mendapat tawaran menteri atau akan berbalik mendukung pemerintah bila mendapat kursi menteri.

Begitu juga dengan presidennya, dalam kampanye janji tak obral kursi, setelah duduk menjadi presiden kursipun diobral. Mau merampingkan cabinet justru membengkak. Pating camarut, seperti benang kusut. Sebuah kebijakan yang sudah digelontorkan ke masyarakat pejabatnya bisa saling lempar, seperti tak ada yang berani bertanggungjawab ketika rakyat berteriak, kemahalan. Lihat saja kasus baru-baru ini, masa kebijakan sudah dikeluarkan yang di atas pada saling lempar. Seperti anak-anak yang membakar petasan, ketika ada yang teriak terganggu, anak-anak tersebut pada saling tuding, “ itu dia yang membakar petasan, bukan saya!”

Loh mau dibawa ke mana negara ini, kalau di atasnya pada saling lempar tanggungjawab? Rakyat sudah menjadi korban, eh yang di atas saling lempar. Ya ampun, apanya yang mau dicontoh kalau yang di atas sudah memberikan contoh yang kurang elok.  Rakyat yang sudah “kembang kempis” dan sudah menggelepar, eh masih dibuat bingung. 

Katanya mau mensejahterakan rakyat, gimana mau sejahtera bila harga-harga barang melangit, listrik naik bersamaan dengan obyek pajak lainnya. Pajak dikeruk habis, sementara harga meroket, apanya yang mau sejahtera? Bukankah kesejahteraan itu bila rakyat mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi bagaimana mau sejahtera bila harga-harga barang meroket, melesat cepat dan tak sebanding dengan panghasilan rata-rata rakyat kebanyakan. Susahnya menjadi rakyat, jangan katakan, “siapa suruh menjadi rakyat?”

Atau memang begitu nasib rakyat, hanya menjadi pemanis saat-saat kampanye tiba, baik di pilpres, pileg atau di pilkada. Semua teriak saat kampanye, demi rakyat untuk rakyat. Namun setelah kursi diduduki, rakyat hanya tinggal angka di statistic, rakyat ditinggalkan, dan rakyat hanya mampu gigit jari sambil bertopang dagu, memikirkan harga cabe yang membumbung tinggi. Repotnya menjadi rakyat kecil, tak bisa berbuat apa-apa, salah-salah omong, salah-salah kata, salah-salah tulis bisa bisa kena pasal karet. Dengan mudah disematkan dengan kata-kata “ mengubar kebencian”.

Sang tokoh yang ceramah di kalangannya sendiri dan membicarakan agamanya sendiri, bisa dituduh mengubar kebencian. Dalam agamanya memang kebenaran yang disampaikan, namun agama lain merasa disentil, lalu melapor ke polisi. Waduh bila ceramah di kalangan sendiri saja dianggap mengubar kebencian, bagaimana bila di masyarakat umum. Maka terjadilah saling lapor, maka terjadilah hiruk pikut, maka yang terlihat adalah saling hujat, saling menghina, saling memaki sesama anak bangsa. Untungnya, ya masih untung yang baru terjadi hanya sekedar kata-kata, bukan dengan senjata. Kalau yang bicara senjata, mau diapakan negeri ini? Sudah terlalu banyak contoh di negara-negara Timur Tengah, jangan ditambah lagi kekacauan di Indonesia.

Mari saling mengerem diri, saling intropeksi diri, jangan-jangan yang salah memang saya, bukan orang lain. Jangan-jangan memang partai saya yang salah, bukan partai orang lain. Jangan-jangan memang kebijakan saya yang salah, bukan rakyat yang mendemo kebijakan tersebut. Bila setiap tokoh, apa lagi pejebat pemerintahan punya rasa empati yang tinggi, insya Allah carut marutnya negara ini segera reda. Dan pembangunan fisik akan berjalan lebih cepat, karena semuanya sudah focus ke arah pembangunan yang lebih baik. Jangan jadikan Indonesia seperti di Timur Tengah, mari jaga diri, agar rakyat tidak mudah terprovokasi pada isu-isu yang tak dapat dipertanggungjawabkan.

Mari bangun negara ini dengan hati, bukan emosi. Mari bangkitkan rakyat banyak dengan motivasi yang tinggi, bukan dengan caci maki yang basi. Mari gunakan logika yang mumpuni, bukan perasaan yang membuat saling memusuhi sesama anak bangsa ini. Kita semua bersaudara, satu bangsa, satu bahasa san satu tanah air Indonesia. Jangan sampai negara Indonesia hanya tinggal dalam sejarah, jangan sampai Indonesia hilang dari peta dunia, seperti Uni Soviet atau Yugoslavia. Mari terus membuat kokoh bangsa ini, bukan mempreteli dengan ujaran caci maki, ujaran kebencian,  fitnah dan adudomba.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline