Weleh…weleh, saya sampai geleng-geleng kepala. Ada apa gerangan? Mungkin banyak yang bertanya demikian. Apa yang salah hingga saya sampai geleng-geleng kepala? Kok bisa ya, tokoh reformasi Indonesia, bahkan boleh dibilang Bapak Reformasi Indonesia ( BRI) dibilang bengis dan dicap “teroris”? Tega nian. Apa yang salah sampai BRI dibilang seperti itu? Oh rupanya ada sesuatu yang membuatnya dituduh demikian. Apa itu?
Begini kawan, dalam kontek politik memang, siapapun, apa lagi tokoh sekelas BRI, bisa saja dicap tak konsisten, “pagi tempe sore tahu”, apa yang salah kalau memang tujuannya baik atau ada strategi tertentu yang digunakannya. Dalam politik itu, tak serta merta “ hitam putih”, seringnya bahkan “ abu-abu”, tak jelas mana, terlihat tak tegas, bahkan seringkali belok ke sana kemari, sehingga sukar dibaca pihak lawan. Bahkan seringkali, “ pagi kawan sore lawan”, tergantung kepentingan, ini politik Bung!
Mengapa bisa begitu? Ya apa lagi kalau bukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, sebuah kemenangan dalam sebuah system pemerintahan. Dan itu sah, selama tidak melanggar UUD dan Pancasila, sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Yang jelas-jelas melanggar saja tak diapa-apakan, dibiarkan, bahkan dibela, lalu mengapa BRI sampai dinistakan sedemikian rupa, hanya gara-gara pidato di depan kadernya sendiri, Partai Amanah Nasional, PAN.
Saya tak ada urusannya dengan PAN, namun terusik ketika BRI dicap yang bukan-bukan, BRI yang mantan ketua Muhammadiyah, mantan ketua MPR, yang pernah dengan lantang di jaman ORBA, Orde Baru, berani mengatakan agar ada pergantian pimpinan nasional, padahal di masa itu, 1990-an, Suharto sedang kuat-kuatnya, dan tokoh-tokoh nasional lainnya “melempem”, Jangan lupakan yang satu ini.
Bolehlah kalau memang memberikan masukan atau kritikan pada BRI, namun ya ampun…. Mengapa harus sampai “membunuh karakter” BRI, ada apa ini? Kapan sih BRI menjadi “teroris”, kapan sih BRI sampai menyengsarakan rakyat? Kapan sih BRI bengis terhadap rakyat? Padahal jasa BRI begitu besar dengan adanya perubahan atau amandemen UUD 1945, khususnya pasal 28, yang tadinya hanya satu ayat, sekarang menjadi 10 ayat, dari ayat “a” sampai “j”, yang boleh disebut pasal atau ayat-ayat HAM, mungkin hanya di UUD 45-lah, HAM begitu tertulis dengan jelas dan tegas.
Mari kita lihat sejenak, apa saja yang tedapat di dalamnnya? Sebagai contoh, saya ambil ayat “e” bagian 3; “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” dan ayat “f”; “ Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Inilah ayat-ayat yang sangat jelas dan tegas, memberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan menyampaikan informasi bagi siapapun warga negara Indonesia, termasuk BRI. Kalau yang disampaikan mungkin tak berkenan bagi pihak lain, bukan lantas BRI dicap yang bukan-bukan. Ingat jasa BRI, mungkian kalau tak ada tokoh seberani BRI di jaman Orba, yang mengatakan BRI bengis , bahkan dicap “teroris” entah masih ada atau tidak, minimal suaranya bisa dibungkam oleh pihak keamanan.
Jangan lupa itu, jangankan rakyat kecil, tokoh-tokoh di Petisi 50 waktu itu, seperti Ali Sadikin dan kawan-kawan, bahkan hak-hak perdatanya menjadi sulit atau dipersulit. Padahal jasa Ali Sadikin sangat besar ketika berhasil membangun DKI Jakarta. Tapi di jaman Orba, bila ada suara-suara yang bertentangan dengan pemerintah, akan dicap bertentangan dengan Pancasila, bukankah itu bahaya?
Nah sekarang kita semua menikmati hasil jasa-jasa BRI, namun begitu tega mencap BRI, bengis dan dicap “teroris”, padahal BRI-lah yang benar-benar diteror, bahkan rumahnya yang di Jogyakarta sampai ditembak pada suatu hari, sampai saat ini tak terdengar beritanya, apakah sudah ditangkap sang peneror tersebut? Lalu apakah jasa yang mencap bengis pada BRI buat negara? Jangan-jangan tak ada apa-apanya.
Bolehlah tak setuju pernyataan BRI saat acara di PAN, yang memang mungkin “keseleo” lidah BRI karena mencap Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, gubernur DKI sekarang ini, bengis. Kalau ini mungkin ada alasannya, dengan melihat sepak terjang Ahok yang menggusur rakyat kecil dan mencekik rakyat kecil dengan menaikan pajak setinggi-tingginya, hingga rakyat kecil seperti tak berhak hidup di tengah-tengah Ibu kota, karena tak mampu membayar pajaknya, dan itu memang terbukti, rakyat kecil tergusur dan terusir ke pinggir-pinggir Jakarta, bahkan keluar dari Jakarta, ke Bekasi, Tanggerang, Depok bahkan sampai ke Bogor.
Lalu apa yang salah kalau BRI berkata” Ahok bengis”, kalau memang faktanya demikian? Lalu mengapa harus sampai dicap bengis dan “teroris”? Jangan lupa itu dalam kontek di dalam lingkungan PAN, acara PAN. Dan kalaupun demikian, bukankah Ahok memang melakukan penggusuran tanpa ampun? Lihat reaksi rakyat yang tergusur, tidak semua menerima, dan Ahok tak perduli, bukankah ini bengis namanya? Lalu BRI dimana bengisnya? Adakah rakyat yang tergusur atau rakyat yang dibuat sengsara karena kebijakan BRI, bukankah BRI yang membuka peluang reformasi sehingga kebebasan. bersuara atau berpendapat sebebas ini sekarang?