Lihat ke Halaman Asli

Syaripudin Zuhri

TERVERIFIKASI

Pembelajar sampai akhir

Efek Jokowi Sampai Juga Ke Moskow

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13971858431659366298

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Di TPS Moskow pemilihan suara dilakukan pada tanggal 4 April 2014, sedangkan perhitungan suaranya tanggal 9 April 2104. Foto; Syaripudin Zuhri"][/caption]

Apa saya bilang? Benar kan, bahwa Jokowi "yes", PDIP-nya  "no" , "PDIP-nya "nanti dulu", PDIP-nya "pikir-pikir dulu". Itu Saya katakan di beberapa tulisan saya sebelumnya atau di beberapa jawaban dari komen-komen teman-teman yang menjagokan PDIP. Ternyata benar adanya, PDIP bisa "keok" kalau tak ada Jokowi, walau tak signifikan, tapi Jokowi mampu "menyelamatkan" suara PDIP di hitungan cepat dari berbagai lembaga survei dan rata-rata berkisar suaranya di antara 18-20 persen, jauh dari targetnya yang 27 persen dan sangat jauh dengan elektebilitasnya Jokowi yang dalam survei-survei selalu di tempat teratas dengan kisaran 36-40 persen.

"Kejomplangan" ini sangat terlihat nyata, ternyata PDIP bukan partai-partai yang "unggul", ya partai "biasa-biasa saja" bukan sesuatu yang luar biasa. Jadi para pemilih lebih melihat Jokowi-nya, bukan PDIP-nya. Lalu gimana dengan nasib Jokowi selanjutnya, yang keberadaannya ternyata hanya " palsu" belaka, hanya menang "di udara" saja. Kemenangan sebanyak-banyaknya seperti yang dikampanyekan oleh Jokowi, "tak terbukti". Jauh dari target, jauh dari harapan, walau tetap mendapat suara terbanyak, tapi tidak mutlak, "rata-rata air saja" bukan "memang telak".

Dengan demikian PDIP harus berkoalisi, yang menurut Jokowi istilah tersebut hanya "bagi-bagi kursi menteri", istilah yang dipakai Jokowi untuk koalisi adalah "kerja sama", walau substansinya "sama-sama wae", "itu-itu juga". Kesombongan Jokowi, loh kok sombong? Itu terlihat ketika Jokowi didesak mundur oleh Gerindra menjadi Gubernur DKI Jakarta,  Jokowi bilang, " Itu urusan gue," dengan nada tinggi.

Kesombongan Jokowi terjawab dengan tak signifikannya suara PDIP, walau Jokowi sudah menjadi "media darling" dalam waktu berbulan-bulan, apa pun tantang Jokowi menjadi berita, dari sepatunya yang bolong sampai blusukannya, dari bajunya yang "itu-itu' juga, baju putih lengan panjang dengan celana hitam, yang "tak sesuai" dengan ketika kampanye di Pilkada DKI, baju kotak-kotak.

Yang "herannya' simbol baju kotak-kotak tidak digunakan, yang waktu di Pilkada DKI katanya melambangkan "keberagaman", tapi yang digunakan baju putih, ya baju putih. Jokowi dan istrinya, Megawati dan kedua anaknya ketika mencoblos di TPS masing-masing menggunakan baju putih, padahal itu simbolnya PKS. Kenapa Megawati dan Jokowi tidak pakai baju merah, simbol partai mereka? Mengapa justru putih? Ini yang mengherankan. Karena dalam kampanye warna itu "bersuara!", warna itu memegang simbol-simbol setiap partai.

Orang sudah paham kalau putih itu warnanya PKS, merah warnanya PDIP, kuning warnanya Golkar, Biru warnanya PAN atau PDIP, dan hijau warnanya PKB atau PPP. Jadi warna pegang "peranan' dalam simbolisasi sebuah partai dalam acara Pileg dan Pilpres. Dengan demikian menjadi suatu yang mengherankan ketika Megawati dan Jokowi ketika mencoblos tidak pakai warna merah, bukankah itu berarti "meninggalkan" simbol-simbol yang mereka miliki. Maka jadilah PDIP, partai tempat mereka bernaung, hasil kemenangan biasa-biasa saja, tidak seperti yang diharapkan dan tidak seperti yang diprediksi oleh para pakar.

Yang naik justru PKB atau partai partai Islam lainnya, yang menurut survei-survei diperkirakan hanya akan mampu bertahan di kisaran 3-4 persen saja, tapi itu "dipatahkan" dengan perhitungan cepat, di mana partai-partai Islam kisarannya justru 200 persen atau dua kali lipat dari perkiraan para pakar yang "keblinger", apa lagi pakar dari Barat, yang sengaja memojokkan partai Islam, agar suara mereka hilang dan terhapus dari perpolitikan nasional, dengan cara mengembar-gemborkan partai Islam tak akan mampu mencapai ambang batas Pileg, kecuali PBB yang masih terseok-terseok, sejak pendaftarannya, dan saat disahkan menjadi partai yang berhak ikut Pemilu dengan verifikasi yang jitu, tapi hasilnya tak signifikan dengan upaya PBB, itulah politik.

[caption id="" align="aligncenter" width="381" caption="PKS yang mentargetkan 3 besar dalam Pileg,dalam hitungan semantara tercapai di Moskow. Ilustrasi: kokopks.web.id"]

13971855811078333005

[/caption]

Bagaimana selanjutnya? Perkiraan para pakar dengan surveinya yang "jungkir balik" telah membuat peta perpolitikan setelah Pileg dan menuju Pilpres, menjadi ikut "jungkir balik". Partai-partai politik menjadi "menghitung ulang". Partai-partai yang berbasis Islam, yang tidak disukai sebagian orang, ternyata eksis dan menunjukkan "kekuatannya" khususnya PKB, yang meraih sekitar 9 persen dalam hitungan sementara. PKS yang sengaja" dibomardir" dengan kasus "daging sapi" tetap eksis, dan tak tersingkir dari ambang batas, walau target tiga besarnya secara nasional tidak tercapai.

Namun di TPS Moskow, PKS target tiga besarnya tercapai. Jadi PKS menempati urutan pemenang sementara ketiga, setelah PDIP sebagai pemenang pertama, dan Gerindra pemenang kedua. PDIP sementara memperoleh 83 suara, Gerindra 22 suara, dan PKS 21 suara. Jadi PKS dan Gerindra hanya selisih satu suara saja di TPS Moskow! Partainya lainnya berturut-turut mendapat suara sebagai berikut: PD 10 suara, PAN dan PKPI masing-masing 8 suara, Golkar, PPP dan PBB 5 suara, Nasdem 4 suara, PKB 3 suara dan yang paling kasihan adalah Hanura tak mendapat suara alias kosong, nol, tak ada yang memilih! Dan suara tak sah adalah 11 suara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline