Ditulis Sebagai Tugas UAS Mata Kuliah Politik Hukum Islam di Indonesia, Dosen Pengampu Bapak Basuki Kurniawan, S.H.,M.H.
Oleh : Virania Azzahro Elvais / S20191032
Mahasiswa Progam Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN K.H Ahmad Shidiq
Seperti yang kita ketahui bahwa pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu hal yang sangat penting, begitu pula dalam islam bahwasannya pernikahan merupakan salah satu ajaran yang terpenting dan banyak ayat Al-Qur’an yang membahas tentang pernikahan.
UU perkawinan ini membahas secara rinci tentang perkawinan, muali dari definisi, tujuan, syarat sah, azaz, perjanjian, harta benda, hak dan kewajiban , perwalian didalam perkawinan , perkawinan diluar Indonesia, peralihan, perceraian dan lain sebagainya.
Begitupula di Indonesia dikeluarkannya UU tentang perkawinan merupakan bentuk penampungan prinsip serta pegangan masyarakat Indonesia. Namun adanya UU Perkawinan ini tentunya menjadi sorotan bahkan semenjak dahulu hingga saat ini, ada yang Pro dan adapula yang Kontra. Dalam hal ini terjadi dua kubu terhadap penilain UU ini, yaitu kaum feminis dan aktivis perempuan serta kaum agama.
Bebagi hal yang menjadi sorotan dalam UU ini termaksud perkawinan berazaz monogami, namun kita ketahui bahwasannya dalam islam mengenal adanya poligami. Maka apabila hal ini dikehendaki oleh yang bersangkutan dan hukum agamanya mengizinkan seorang suami dapat memiliki istri lebih dari satu tentunya harus memenuhi persyaratan dan putusan pengadilan. Dengan adanya aturan yang ketat mengenai poligami ini, sebenarnya melindungi hak-hak perempuan.
Selain itu pencatatan perkawinan juga menjadi sorotan, sebagian masyarakat memandang bahwasannya perkawinan cukup sah secara agama saja tidak perlu dicatatkan, dan muncul pertanyaan apa manfaat pencatatan perkawinan., lalu apa konsekuensi bila tidak melakukan pencatatan perkawinan. Padalah UU perkawinan ini sangat memperhatikan hal – hal terkecil termassuk pencatatan perkawinan hal ini karena untuk melindungi ,memenuhi HAM , dan memiliki status hukum yang jelas.
Hal yang menjadi perdebatan lagi adalah tentang batas usia perkawinan. Seperti yang kita ketahui bahwasannya dalam hukum agama tidak terdapat batas usia sebagai syarat untuk melangsungkan pernikahan. UU ini memandang bahwasannya untuk melakukan perkawinan calon mempelai haruslah masak jiwa dan raganya hal ini agar perkawinan tidak berkahir dengan perceraian, berjalan dengan baik, dan mendapakan keturunan yang sehat. Batas usia perkawinan dalam UU ini adalah Sembilan belas tahun baik itu laki-laki maupun perempuan. (Pasal 7 a UU No. 16 Tahun 2019 perubahan UU No.1 Tahun 1974)
Didalam UU ini dijelaskan bahwasannya tujuan dari perkawinan adalah Membentuk keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa maka adanya UU ini termasuk mempersulit pasangan untuk bercerai, seperti perceraian harus dengan izin Pengadilan.
Menurut pandangan saya adanya UU perkawinan ini jelas sebagai pelindung , sebagai payung hukum dalam permasalahan rumah tangga serta menjamin dan menjujung HAM. Apalagi untuk perempuan sangat memihak karena menurut ketentuan dalam UU ini laki-laki dan perempuan setara.