Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Gerda Lerner yang kemudian telah terbit pada jurnal The University of Chicago Press, Pekerja Seks Komersial ("PSK") merupakan salah satu profesi tertua yang ada di dunia. Hal ini didukung dengan pendapat menurut Kartono yang menyatakan bahwa profesi prostitusi memiliki umur yang setara dengan umur manusia itu sendiri. Perempuan sebagai salah satu kelompok yang termarginalisasi di masyarakat kerap kali tidak memiliki kapasitas untuk mampu menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Ketidakmampuan ini didasari oleh banyak hal, diantaranya bekal pendidikan yang minim, kemiskinan struktural, budaya patriarki yang mendarah daging, dan lain sebagainya. Dengan berbagai alasan tersebut, seringkali perempuan juga tidak memiliki pilihan lain selain masuk ke dalam dunia kerja demi meringankan beban ekonomi keluarga.
Ironisnya, dengan bekal pendidikan yang minim, perempuan yang termarginalisasi hanya dapat berkecimpung di pekerjaan informal dengan taraf penghasilan yang tidak seberapa. Melihat realitas yang ada, prostitusi agaknya terlihat sebagai salah satu opsi pekerjaan yang kelak dapat menjadi pintu keluar bagi perempuan yang termarginalisasi. Lantas apakah benar begitu? Apakah dengan minimnya opsi yang ada lantas kegiatan prostitusi dapat dijustifikasi? Kemudian bagaimana peran pemerintah dalam mengayomi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu?
Sejarah Prostitusi di dunia dan di Indonesia
Pada taraf dunia, prostitusi merupakan sebuah profesi yang sudah ada sejak awal munculnya peradaban. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa di peradaban Mesopotamia, tepatnya pada abad 2.400 SM, terdapat segolongan perempuan berkasta rendah yang bekerja sebagai penjaga kuil sekaligus melayani kebutuhan seksual para lelaki kasta tinggi. Meskipun para lelaki berkasta tinggi ini mempunyai permaisuri yang juga merupakan wanita berkasta tinggi, namun pada hakikatnya para wanita berkasta tinggi ini dilarang untuk hamil dan melahirkan seorang anak demi menjaga kesucian diri mereka.
Di Indonesia sendiri praktik prostitusi sudah ada sedari zaman berdirinya kerajaan-kerajaan di Jawa. Praktik prostitusi pun kemudian makin berkembang di zaman penjajahan Belanda, dikarenakan pada saat itu terdapat ketimpangan jumlah wanita dengan pria ras Eropa dan Cina di Indonesia.
Pada tahun 1930, dunia mengalami krisis ekonomi yang juga turut melanda Indonesia, hal ini mengakibatkan berkurangnya oportunitas lapangan kerja sehingga angka jumlah pengangguran pun membludak. Berangkat dari kondisi ini, muncul lah fenomena pembludakan pekerja di sektor informal, yaitu penjaja jasa, khususnya jasa seksual. Atas dasar tersebut dapat diasumsikan bahwa prostitusi yang berkembang di Indonesia, terutama di Jakarta, disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi sebagai dampak dari krisis ekonomi.
Posisi Wanita sebagai Kaum yang Termarginalisasi
Marginalisasi adalah fenomena ketidakseimbangan dalam pemerolehan peluang dalam aspek ekonomi, sosial dan pendidikan oleh sekumpulan masyarakat. Diketahui bahwa satu dari dua puluh dua kelompok marginal di Indonesia diduduki oleh perempuan.
Di bidang kesehatan, perempuan mengalami keterbatasan untuk mengakses sumber-sumber informasi kesehatan, selain itu informasi mengenai kesehatan reproduksi juga seringkali masih dianggap sebagai sebuah topik yang tabu, atas dasar ini lah layanan kesehatan reproduksi perempuan masih tertinggal.