Salah satu tugas Bank Indonesia dalam rangka menjalankan dan menjaga kelancaran sistem pembayaran yang efisien adalah dengan melakukan redenominasi, hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.3 Tahun 2004. Rencana redenominasi rupiah semakin intens dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, bahkan rancangan Undang-Undang redenominasi telah diajukan sebagai Prioritas dalam daftar Program Legislasi Nasional pada tahun 2013 yang akan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Tujuan dari redenominasi adalah untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa. Program ini mendapat dukungan banyak pihak karena manfaatnya yang dapat meningkatkan efisiensi transaksi. Namun terdapat juga sejumlah kelompok yang merasa khawatir karena dianggap serupa dengan sanering.
Redenominasi memperkenalkan mata uang baru seperti Rp100 untuk setara dengan Rp100.000, Rp50 baru untuk Rp50.000, Rp5 baru untuk Rp5.000, dan sebagainya. Penting untuk dicatat bahwa redenominasi rupiah berbeda dengan kebijakan sanering yang pernah diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Redenominasi adalah pengurangan nilai mata uang menjadi pecahan yang lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya, sementara sanering melibatkan pemotongan nilai uang. Sebagai contoh sederhana, jika kita memiliki uang sebesar Rp1000, dengan sanering nilainya akan menjadi Rp500.
Dampak Positif dari Redenominasi rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1 adalah membuat ransaksi keuangan menjadi lebih sederhana. Proses penghitungan transaksi akan menjadi lebih singkat karena jumlah digit pada nilai mata uang yang digunakan akan berkurang secara signifikan. Kemudian redenominasi rupiah juga akan membawa efisiensi dalam pencantuman harga. Dan yang terakhir Meningkatkan citra rupiah. Selain manfaat praktis, redenominasi rupiah juga diharapkan dapat meningkatkan citra mata uang tersebut. Dengan mengurangi jumlah digit dan angka nol pada rupiah, diharapkan dapat memberikan kesan nilai yang lebih baik dan meningkatkan martabat mata uang rupiah secara keseluruhan.
Dampak negatif dari redenominasi rupiah juga perlu dipertimbangkan. Pelaksanaan perubahan ini membutuhkan stabilitas ekonomi dalam suatu negara. Meskipun nilai tukar tidak berubah, ada beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah pencetakan uang baru.
Redenominasi membutuhkan penggantian uang lama dengan uang baru untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap nilai uang yang beredar. Hal ini memerlukan anggaran yang cukup besar untuk mencetak uang baru dan menarik uang lama dari peredaran. selain itu upaya sosialisasi kepada masyarakat juga menjadi tantangan. Perubahan digit pada alat tukar sehari-hari dapat menimbulkan kebingungan jika tidak disertai dengan informasi yang cukup. Pemerintah perlu melaksanakan upaya sosialisasi yang membutuhkan anggaran, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit untuk memastikan pemahaman yang baik oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H