Lihat ke Halaman Asli

Ngantuk, Antara Sifat Kemanusiaan dan Kelalaian

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kejadian tabrakan Kereta Api di Pemalang Jawa Tengah dugaan sementara akibat sang Masinis KA Argo Anggrek mengantuk sehingga terjadilah petaka yang merenggut korban jiwa 35 orang dan 34 lainnya luka berat dan ringan.

Pejabat peserta Lemhanas ditegur keras oleh Presiden SBY  karena kedapatan mengantuk waktu mendengarkan ceramahnya.

Para Anggota Dewan yang terhormat disorot publik karena kedapatan kerjaannya mengantuk mulu, padahal telah diberikan gaji dan tunjangan yang lebih dari memadai, bagaimana memperjuangkan aspirasi masyarakat?

Bambang Hendarso (Kapolri) Hendarman (Kejagung), Andi Malarangeng (Menpora), dan para Menteri lainnya tertangkap kamera sedang terkantuk-kantuk ketika hadir pada rapat kabinet karena habis begadang nonton sepak bola dunia.

Seorang ayah tega membanting anaknya yang masih balita hingga tewas gara-gara rewel minta jajan sedangkan sang ayah ngantuk berat sehabis begadang

Berapa puluh kali pertahun kejadian kecelakaan kendaraan di jalan raya atau terjun kejurang akibat sopir mengantuk dan meminta korban jiwa yang tidak sedikit.

Ngantuk merupakan suatu keadaan psikis yang menginginkan si empunya untuk tidur karena faktor kelelahan fisik yang secara naluriah dan alami memerintahkan otak dan seluruh anggota tubuh untuk beristirahat. Obatnya yang cespleng adalah dengan tidur baik sejenak maupun lama dan nyenyak.

Keadaan akan kacau jika serangan ngantuk dicoba dilawan seolah terjadi perang antara keinginan hati dan otak yang tetap ingin terjaga dan hati mengajak untuk tidur atau bisa sebaliknya. Hal itu dimungkinkan karena pada saat bersamaan fisik sedang melakukan aktivitas apakah sedang mengikuti rapat penting, mendengarkan ceramah, menonton, dan yang paling bahaya ketika sedang mengendarai kendaraan. Bahkan agama (Islam) memerintahkan ketika shalat tidak boleh ngantuk untuk menjaga kekhusuan dan keikhlasan dan kalaupun terpaksa harus menguap, haruslah dibekap untuk menjaga kesopanan dihadapan sang Khalik.

Semestinya apabila ngantuk menyerang apalagi sedang mengendarai kendaraan perjalanan luar kota sebaiknya segera menepi mencari rest area di SPBU atau Mesjid, halaman rumah makan, atau tempat yang diperkirakan aman untuk mencoba sejenak memejamkan mata, meregangkan urat leher  dan relax. Namun kebanyakan malah memacu kendaraannya menjurus ugal-ugalan sebagai obat penghilang kantuk karena pengaruh adrenalin yang meningkat sekaligus mengejar waktu atau setoran (bagi kendaraan umum).

Kondisi akan berbeda kalau rasa ngantuk menimpa para pejabat yang semestinya tetap jaim alias jaga imej, apalagi di era reformasi ini kejadian pejabat yang terkantuk-kantuk sering jadi bulan-bulanan mass media dan jadi obyek cemoohan masyarakat yang berang melihat tingkah laku yang tidak patut itu. Masyarakat semakin tidak simpati dan hilang kepercayaan kepada pemerintah akibat ulah para pejabatnya yang tidak bisa memerangi rasa kantuk yang biasanya menampilkan face yang oon, memble, kecuali bagi face yang memang dari sononya begitu seperti jamannya orde baru dulu ada Mensesneg Murdiono ngantuk atau artis Herman Ngantuk, yang tidak terbayang profil ngantuk benernya seperti apa ?

Jadi rasa ngantuk itu disatu sisi merupakan hal yang manusiawi untuk memulihkan kesehatan tapi disisi lain sangat buruk bagi dirinya, lingkungannya dari akibat/hasil yang ditimbulkannya, baik secara materi maupun immateri sudah banyak contoh kejadian yang merugikan, membahayakan, menjatuhkan wibawa sekaligus memalukan akibat ngantuk yang diumbar dan tidak terjaga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline