Laila mencuci tangannya setelah selesai membersihkan ikan tongkol. Hari ini sekolahnya kedatangan tamu, Laila yang biasanya membantu di dapur asrama tak mau kehilangan kesempatan membuatkan hidangan, apalagi ini tahun terakhirnya. "Laila semangat sekali, pasti ini karena kedatangan Ustadz Yusuf ya?" celoteh Nurul, yang juga siswi pembantu di asrama. "Iya nih Laila, sudah nanti yang antarkan hidangan Laila saja", Nisa menambahkan, "Waduh, kalian ini ada-ada saja, aku memang lagi semangat karena setelah ini kita akan lulus, aku tidak mau membuang kesempatan ini.
Belum pernah aku membuat hidangan untuk tamu kehormatan sekolah", Laila membalas. "Tidak apa-apa Laila, lagi pula Ustadz Yusuf kan masih muda, baru lulus 2 tahun lalu sudah hafidz, sepertinya cocok deh sama kamu" Nurul menimpali, "Hus, ngawur kamu, sudah sana tumis bumbunya, ini tongkolnya sudah siap dimasak", Laila berlalu meninggalkan tempat cuci tangan dan mulai membantu ibu-ibu membagikan jatah makan siang kepada anak-anak.
"Wah, mbak Laila, seperti biasa, selalu cantik bak bidadari, apalagi kalau siang-siang gini, betah deh mandangin wajah mbak Laila", celoteh seorang siswi kelas 10, "Duh bisa aja kamu, emang kamu belum makan dari pagi ya? Kelihatannya agak mengkhayal nih", "Loh, beneran lho mbak, mbak Laila itu wajahnya cantik menawan dengan senyuman", "Waduh, kamu kok terlalu berlebihan, dik, sudah sana banyak yang antri". Siang itu, kantin dipenuhi wajah-wajah polos siswi-siswi berkerudung, dengan senyuman mereka mulai memenuhi tempat itu.
Setelah sibuk melayani adik-adik makan siang, Laila merebahkan tubuhnya di kamarnya, aktivitasnya dari pagi hari membuatnya belum sempat istirahat, namun, ia tak merasakan lelah, sebab orang yang dikaguminya akan mengunjungi sekolahnya. Yusuf Thariq Ramadhan, pemuda yang menjadi hafidz di usia 19 tahun dan sekarang menjadi qori sekaligus pendakwah yang cerdas. "Jadi pembantunya pun aku tidak pantas, apalagi menjadi istrinya. Astagfirullah, sudahlah aku terlalu banyak berkhayal", Laila cepat-cepat istigfar dan memejamkan matanya.
Acara tabligh akbar pun dimulai, seperti biasa, Laila membuka acara dengan lantunan Al-Qur'an yang merdu. Acara langsung disusul oleh sambutan-sambutan dan isi. Pada sore itu, tabligh diikuti oleh banyak siswa-siswi dan berlangsung dengan khidmat. Hingga akhirnya, pembicara utama, yakni Yusuf Thariq Ramadhan membawakan tabligh mengenai Peran Pemuda Muslim Indonesia dalam Kemerdekaan Palestina. Laila mendengarkannya dengan khidmat, berulang kali ia mengangguk-anggukan kepala karena sependapat dengan apa yang diucapkan Yusuf.
" Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surah Ali-Imran ayat 110,
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah."
"Palestina adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dan sekarang kemerdekaan mereka sedang diinjak-injak oleh para penjajah. Apakah kita akan diam saja melihat saudara-saudara kita dibantai, diculik, dianiaya, ataupun dibakar hidup-hidup?", suara Yusuf membangkitkan jiwa audiens, sontak mereka menjawab, "Tidak!", "Apakah kalian mengira, sikap 'diam' kalian terhadap mereka tidak akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat nanti?", "Tidak!" suara audiens semakin menggelegar, "Allah berfirman kita adalah umat terbaik karena kita mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan.
Maka, sebarkanlah! Sebarkanlah berita penjajahan ini, bangunkan mereka yang tidur!", mata Laila berkaca-kaca mendengar apa yang disampaikan oleh Yusuf. Ia menyadari betapa banyaknya jumlah umat Islam di dunia ini, namun banyak dari mereka yang 'tidur' ataupun bangun tetapi memilih tetap diam walaupun hanya sekadar menyebarkan berita Palestina. Ia tidak mengerti, bagaimana seseorang bisa begitu tidak peduli akan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan bangsa 'Israel' terhadap rakyat Palestina.
Ia membayangkan seandainya seluruh umat Islam peduli dan bersatu melindungi Palestina, mungkinlah rakyat Palestina tidak akan menderita seperti sekarang ini. Air matanya menetes menangisi umat, sampai akhirnya ia disadarkan oleh gema takbir yang di serukan seluruh audiens, yang menandai berakhirnya tabligh yang dibawakan Yusuf pada saat itu.
Laila sibuk membersihkan sampah-sampah di tempat tabligh yang tadinya berlangsung. Hari mulai gelap, namun ia tidak peduli karena ia sadar akan kewajibannya sebagai pembantu. Saat Laila telah kelar menjalankan tugasnya, ia duduk dan bersandar pada tiang di serambi masjid. Laila memejamkan mata beberapa saat untuk melepas letihnya, perutnya lapar sekali. Tanpa ia sadari, sepasang mata memandangnya dengan rasa iba, namun penuh cinta.