Lihat ke Halaman Asli

Meninggalkan untuk Ditinggalkan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan hal yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sesuatu yang kukira adalah sebuah kutukan, karena aku merasakan dunia seolah-olah akan kiamat tiap kali perasaan aneh itu datang. Perasaan yang pada akhirnya ku ketahui bernama cinta itu datang tanpa permisi dan kompromi. Ia tidak mengenal waktu, tempat, dan pada siapa menjatuhkan panah asmaranya yang sangat membahagiakan sekaligus menyakitkan dalam waktu yang bersamaan. Cinta memilihku pada saat aku belum siapp terhadap konsekuensinya.
"Orang jatuh cinta itu biasa, apa lagi patah hati.. Itu hal yang biasa, toh semua orang mengalaminya," begitulah kata seorang sahabat yang dewasa sebelum waktunya. "Patah hati ga bikin orang mati kok," tuturnya lagi.

Aku jatuh cinta kepada seseorang yang salah. Seorang laki-laki biasa bernama Arjuna. Wajahnya juga tak setampan namanya. Hidupnya sederhana namun berkharisma. Entah mengapa ia tampak luar biasa di mataku. Mungkin saat kita sedang jatuh cinta, hanya orang yang kita cintai itu yang selalu terlihat sempurna di mata kita, padahal kenyataannya tidak. Arjuna sosok lelaki yang sulit sekali untuk ditebak, ia memiliki tatapan yang teduh dibalik kaca matanya. Mungkin itu yang membuat semua perempuan normal dan laki-laki tidak normal jatuh hati padanya.

Aku masih ingat dengan jelas saat pertama kali aku melihatnya, lelaki kurus berambut ikal dengan baju biru lengan panjang sedang berdiri kaku di ujung koridor sekolah. Entah apa yang sedang dilakukannya di sana.
Aku mengenalnya saat duduk sibangku sekolah menengah atas. Dia satu tingkat dibawahku, usia kami hanya terpaut satu tahun. Setiap pagii aku cepat-cepat datang ke sekolah, bukan untuk mengerjakan tugas yang memang sudah menjadi tradisi untuk dikerjakan bersama-sama sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Aku selalu datang paling awal agar dapat melihatnya berjalan masuk ke dalam kelasnya. Aku berdiri di balik jendela kelas, mengamati setiap siswa yang datang, dan menunggunya dengan jantung yang berdebar-debar. Begitu pula saat bel pulang berbunyi, aku segera menuju tempat yang kuanggap strategis untuk melihatnya berjalan ke luar sekolah, dan selalu menjadi siswa yang pulang paling akhir. Itulah yang kulakukan setiap hari selama aku satu sekolah dengannya. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk sekadar berkenalan dengannya, apa lagi menjadi temannya.

Hari selasa menjadi hari yag paling kunantikan, karena setiap hari selasa ada pelajaran olah raga. Bukan karena aku gemar berolahraga, tetapi karena jam pelajaran olah raga kami bersamaan. Aku bisa puas memandangi dan mengaguminya saat ia bermain bola basket di lapangan bersama teman-temannya, yah walaupun hanya dari kejauhan saja. Arjuna membuatku bersemangat setiap harinya untuk pergi ke sekolah.
Saat tahun terakhir bersekolah, bulan-bulan mendekati kelulusan membuatku takut dan kuatir. Bukan takut dengan hasil ujianku atau kuatir tidak lulus sekolah, tetapi takut tidak bisa bertemu dengannya lagi selepas aku lulus nanti. Aku berpikir dengan keras untuk mencari cara agar dapat mengungkapkan perasaan yang menggangguku ini kepadanya. Akhirnya aku memberanikan diri menulis sebuah puisi untuknya tanpa kucantumkan namaku diakhir puisi tersebut, kemudian aku kirimkan ke redaksi majalah dinding sekolah untuk ditempelkan di tempat yang dapat dilihat oleh semua siswa.

Setelah lulus sekolah, aku melanjutkan pendidikanku di salah satu perguruan tinggi di luar kota. Aku masih menyimpan perasaan anehku itu terhadapnya, aku membawa perasaan itu kemanapun aku pergi. Tiga tahun aku memendam perasaan itu, aku merahasiakan rasa cintaku tanpa seorangpun yang tahu. Saat liburan semester tiba, aku pulang ke rumah.

Aku memutuskan untuk berkunjung ke sekolah sekadar berbagi cerita dengan guru-guru kesayanganku semasa sekolah dulu. Hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan untukku, hal yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadi dalam hidupku. Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan memanggil namaku. Aku membalikan badanku ke arah si pemilik suara itu. Jantungku seolah-olah berhenti sesaat ketika menatap mata teduh itu, mata yang membuatku tidak pernah bisa berpaling dan berhenti untuk berkedip sebentar saja. Sinar mata Arjuna tidak pernah berubah.

"Astaga, dia tahu namaku!" Teriakku dalam hati. Ternyata dia mengenalku, tentu saja aku tidak akan membiarkan kesempatan sekali seumur hidupku ini berlalu begitu saja. Aku mengumpulkan seluruh keberanian yang aku miliki dan berusaha menutupi bibirku yang bergetar tiap kali menjawab pertanyaannya. Kami pun cepat sekali akrab dan merasa begitu dekat. Kami berjalan pulang meninggalkan sekolah tercinta sambil bercerita seputar masa sekolah dahulu.

Setelah hari itu, hubungan kami semakin dekat. Kami sering sekali berbagi cerita walau hanya lewat telepon dan pesan singkat melalui telepon genggam, karena aku harus kembali kuliah di luar kota. Rasanya waktu begitu cepat berlalu saat berkomunikasi dengannya, ada saja hal yang bisa diceritakan saat bersamanya.
Aku selalu menantikan libur akhir semester dan bersemangat sekali untuk pulang ke rumah, karena aku tahu ada yang menungguku dan ingin sekali bertemu denganku di sana. Arjuna pasti mengajakku jalan-jalan setiap aku libur kuliah.

Hubungan kami memang hanya sebatas teman, tetapi aku rasa lebih dari sekadar teman biasa. Apa yang kami lakukan sudah seperti layaknya sepasang kekasih saja, sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, yang sedang kecanduan cinta. Hubungan tanpa status kami jalani tanpa ada beban. Kami saling menyayangi satu sama lain. Tetapi hubungan kami tidak mungkin berlanjut ke arah yang lebih serius, kami tidak mungkin berpacaran. Arjuna sudah memiliki seorang kekasih, perempuan yang ternyata satu sekolah juga dengan kami dahulu.

Waktu terus berlalu, aku mulai merasa kesal tiap kali dia bercerita dan selalu saja nama kekasihnya yang disebut. Selalu tentang kekasihnya itu yang ia ceritakan. Dia selalu meminta saran dan masukan tiap kali bertengkar dengan kekasihnya. Telingaku panas rasanya tiap kali mendengar nama perempuan itu. Aku benar-benar bosan mendengarnya. Aku akui aku cemburu. Tapi aku bukan siapa-siapanya.

Aku selalu mencoba untuk mengalah, berusaha menjadi seorang pendengar yang baik untuknya. Aku memiliki dua buah telinga, dan hanya satu bibir saja. Jadi sudah seharusnya aku lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara.
Aku memberikan saran yang terbaik untuknya, tetapi tidak pernah didengarkannya. Menurutnya, hanya pendapatnyalah yang paling benar. Kami pun akhirnya sering berselisih paham dan bertengkar, dia sering sekali marah dan memakiku tanpa alasan yang jelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline