Lihat ke Halaman Asli

Viona

Mahasiswi

Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia Apakah UU Ketenagakerjaaan Sudah Memadai?

Diperbarui: 19 Desember 2024   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia: Apakah UU Ketenagakerjaan Sudah Memadai?

Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia telah berfungsi sebagai landasan hukum utama dalam melindungi hak-hak pekerja. Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah berupaya menciptakan hubungan industrial yang adil dan seimbang. Namun, satu pertanyaan mendasar tetap mengemuka: apakah perlindungan yang diberikan sudah memadai?

Secara normatif, UU Ketenagakerjaan menjanjikan perlindungan yang komprehensif, mulai dari hak atas upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, hingga jaminan sosial. Namun, dalam praktiknya, berbagai tantangan masih terus muncul. Misalnya, upah minimum regional (UMR) sering kali tidak mencukupi kebutuhan hidup yang layak di sejumlah daerah. Selain itu, pelanggaran terhadap hak-hak pekerja, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, masih menjadi isu yang krusial.

Penerapan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Nomor 11 Tahun 2020), yang bertujuan untuk meningkatkan investasi dan memperluas lapangan kerja, juga memicu pro dan kontra di masyarakat. Banyak pihak berpendapat bahwa UU ini justru melemahkan perlindungan pekerja dengan memperlonggar aturan PHK, mengurangi pesangon, dan memperkenalkan sistem outsourcing yang lebih fleksibel. Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa UU ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi dunia usaha dan berpotensi menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah lemahnya penegakan hukum dalam bidang ketenagakerjaan. Banyak perusahaan yang mendiskon aturan hukum tanpa menghadapi konsekuensi berarti, khususnya dalam hal jaminan sosial serta perlakuan diskriminatif terhadap pekerja perempuan dan difabel. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan regulasi saja tidak cukup tanpa adanya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif.

Selain itu, tantangan baru muncul seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola kerja yang ada. Pekerja di sektor informal dan platform digital, seperti ojek online, seringkali tidak terjamin perlindungannya dalam kerangka hukum ketenagakerjaan yang formal. Padahal, kelompok ini juga menghadapi risiko kerja yang tinggi tanpa akses pada jaminan sosial atau perlindungan hukum yang memadai.

Melihat situasi ini, perlindungan tenaga kerja di Indonesia membutuhkan pembaruan yang lebih menyeluruh dan adaptif. Pemerintah harus memastikan bahwa regulasi yang ada tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga melindungi martabat dan kesejahteraan pekerja. Penegakan hukum perlu diperkuat melalui pengawasan yang transparan serta partisipasi aktif dari serikat pekerja. Selain itu, regulasi harus mencakup pekerja di sektor informal dan digital, sehingga tidak ada yang terabaikan.

Dengan demikian, ketika ditanya apakah UU Ketenagakerjaan sudah cukup, jawabannya sangat bergantung pada komitmen pemerintah dalam menerjemahkan regulasi menjadi perlindungan yang nyata bagi seluruh pekerja. Regulasi yang baik tidak hanya seharusnya tertulis di atas kertas, tetapi juga perlu dirasakan manfaatnya oleh mereka yang berada di garis depan perekonomian bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline