Lihat ke Halaman Asli

Viola Eva Reditiya

Mahasiswi Magister

Vulnerable or Reckless? Mengapa Oversharing Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

Diperbarui: 8 Februari 2025   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber AI

Sejak dulu, manusia selalu punya kebutuhan untuk bercerita. Dari zaman nenek moyang yang berkumpul di sekitar api unggun hingga budaya bertukar cerita di warung kopi, berbagi kisah adalah cara kita membangun koneksi dan memahami satu sama lain. Namun, di tengah kemudahan berbagi saat ini, batasan antara cerita yang perlu dibagikan dan yang seharusnya disimpan menjadi semakin kabur. Apa yang dulu hanya dibicarakan dalam lingkup kecil kini bisa tersebar luas dalam hitungan detik. Inilah yang kita kenal sebagai oversharing, ketika seseorang membagikan informasi pribadi secara berlebihan, sering kali tanpa menyadari konsekuensinya.

Membuka diri memang bisa menjadi hal yang baik. Berbagi pengalaman, terutama yang penuh emosi, bisa menjadi bentuk katarsis yang membantu kita merasa lebih ringan. Banyak orang merasa lega setelah mencurahkan isi hati, apalagi jika mendapatkan dukungan dari orang lain. Dalam beberapa kasus, oversharing bahkan bisa membawa dampak positif, seperti meningkatkan kesadaran tentang isu kesehatan mental atau memberi inspirasi bagi mereka yang mengalami hal serupa. Namun, tidak semua orang memiliki niat baik. Informasi yang kita bagikan bisa disalahgunakan atau justru menjadi sumber tekanan bagi diri sendiri di masa depan.

Salah satu jebakan terbesar dari oversharing adalah ilusi kenyamanan. Media sosial sering kali memberi kesan bahwa kita berbicara dalam ruang yang aman, padahal apa yang kita unggah bisa dilihat oleh banyak orang dengan berbagai niat. Mungkin kita merasa nyaman bercerita karena banyak yang memberikan respons positif, tetapi apakah mereka benar-benar peduli? Atau hanya sekadar penasaran? Tidak sedikit kasus di mana seseorang membagikan masalah pribadinya secara terang-terangan, hanya untuk berakhir menjadi bahan gosip atau bahkan mengalami cyberbullying. Apa yang awalnya terasa seperti ruang aman bisa berubah menjadi bumerang yang menyakitkan.

Selain itu, oversharing juga dapat memengaruhi cara orang lain memandang kita. Jika terlalu sering membagikan hal-hal pribadi, orang lain bisa kehilangan rasa hormat atau menjadi enggan untuk serius berinteraksi. Bayangkan jika seorang rekan kerja selalu mengunggah keluh kesah tentang pekerjaannya di media sosial bukankah itu bisa memengaruhi profesionalismenya? Atau seseorang yang terlalu sering membagikan konflik pribadinya, sehingga orang lain mulai mempertanyakan batasan pribadinya. Alih-alih mendapatkan empati, oversharing justru bisa membuat kita kehilangan kendali atas citra diri kita sendiri.

Jadi, sebelum membagikan sesuatu, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah ini perlu dibagikan? Apakah saya nyaman jika orang lain mengetahuinya bertahun-tahun ke depan? Apakah saya berbagi karena ingin didengar, atau hanya mencari validasi? Menjadi rentan bukanlah hal yang salah, tetapi ada baiknya kita tetap menjaga keseimbangan antara kejujuran dan privasi. Dengan begitu, kita bisa tetap membangun koneksi yang bermakna tanpa harus mengorbankan batasan pribadi yang seharusnya tetap dijaga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline