Ketika para “santri” yang datang dari jarak jauh menapakkan kakinya di bilik-bilik lantai pesantren, terukirlah pribadi “santri peralihan”. Para “santri” ini berangkat dari kampung halamannya, yang tiap hari menimba ilmu di sekolah elite ala Jesuit yang dipenuhi dengan kekhasan hidup kota dan pengaruh modern. Disana, mereka berinteraksi antar sesama dengan keyakinan batin yang kiranya selaras antara satu sama lain. Secara rutin, kegiatan ibadat ekaristi digelar berbarengan dengan waktu kumandang adzan Jumatan, tidak lain dari gedung sebelah. Perpaduan suara harmoni dan kerukunan dua agama yang sama-sama merayakan imannya menghiasi hawa terik di Menteng Raya. Berbekal dari pengalaman selama di rumah pendidikan, munculah suatu kesadaran tentang hal yang sedarinya muncul dalam hidup berjamaah.
Para santri itu menyadari dirinya bagaikan sebutir batu di tengah ekosistem yang luas, minoritas di antara kerumunan jiwa yang hidup dalam praktik ritual keagamaan yang berbeda. Dirinya adalah seorang Muslim yang tumbuh dalam menddengarkan lantunan doa-doa berbahasa Latin, menghabiskan hari-harinya di sekolah Katolik, mengenal lirik nasrani, melainkan tak pernah menapakkan kakinya pada jalur kehidupan seorang santri. Kini, Ia melangkah ke dunia pesantren, sesuatu yang mungkin dialaminya jika dirinya tidak bersekolah di sekolah homogen itu. Keberadaannya di tempat yang baru adalah sebuah panggilan yang misterius, suara halus dari lubuk hati yang memintanya memahami jalan yang jarang dilalui.
Pesantren, dengan irama adzan dan tarikan napas doa berjamaah, adalah sebuah dorongan baru yang menggema di hatinya. Dalam ruang-ruang yang bertulis sastra Arab, pimpinan pondok pesantren Al-Ittifaq, Ustad Dandan berseru "Semua orang dapat menjadi santri, hanya dibutuhkan keterbukaan dan kerendahan hati untuk menjalakannya". Kalimat itu bukan sekadar pesan, melainkan doa yang hidup, berbisik lembut dalam rongga keheningan, mengingatkan bahwa semuanya berasal dari kemauan diri untuk keluar dari zona nyaman dan membuka diri terhadap segala paparan dari lingkungan baru.
Terlintas dalam pikirannya, perkataan Bapak Pluralisme “Gus Dur” yang berkelindan dengan udara pesantren: "Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah.” Sebuah kalimat ironis yang menjadi keresahan baginya, mengingatkan bahwa apapun itu bisa terjadi. Perjalanan yang membutuhkan payung perlindungan, melangkah dengan hati penuh tanda tanya. Tertuailah anomali yang menusuk sanubari, menyingkap tabir makna tentang Tuhan yang tak terkurung dalam nama atau ritual semata.
Dunia pesantren adalah labirin, penuh dengan adat, kebiasaan, dan ritual yang baginya seolah ditulis dalam bahasa yang belum dipahami. Setiap langkahnya dilandasi papan di atas jurang, setiap tatapan mengingatkannya akan jarak yang menganga. Di tengah gemuruh keraguan, Ia mengingat firman lain yang tertulis dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal." Bukankah harmoni sejati lahir dari gesekan yang berbeda? Bukankah mengasihi yang sejati tak mengenal batas, tak bertanya tentang dari mana seseorang berasal atau bagaimana caranya berdoa? Di setiap detak waktu, semua itu bersatu dan menjadi lentera menuntunnya hatinya untuk merangkul perbedaan dengan tangan terbuka dan jiwa yang lapang.
Menghidupi jiwa “santri peralihan” di kandang milik orang lain ibarat meniti benang di antara kain berliku, dinamis tetapi juga sarat makna. Bagi seorang remaja dengan keyakinan yang sama, tapi hidup di lingkungan yang berbeda, kehidupan yang tertata rapi dan penuh aturan ini membuat kerisauan hati. Tepat pukul 04:00 dini hari, suara adzan yang merdu mengalun dan menyerukan jiwa-jiwa untuk bangkit dari peraduan. Bagi dirinya, lantunan itu menjadi pengingat akan kewajiban yang harus dijalankannya sebagai seorang santri. Tak sebatang kara, dirinya pun ditemani oleh seorang kawan dari perantauan untuk menjalankan shalat Subuh dan pengajian pagi bersama. Dalam langkahnya, tersembunyi keraguan yang menguatkan, perbedaan yang menyatukan. Meski menganut agama yang sama, secara praktik adanya sekat lokalisme budaya setempat. Santri itu mencoba untuk membawa keunikannya sebagai entitas yang membawa aura ganda dari kedua sisi yang sudah terpapar padanya, baik dari asal-usul ataupun di tempat persigahannya kini.
Keraguan yang semula menggumpal, perlahan menjadi benang yang terurai. Sebagaimana cahaya yang menyusup di celah gelap, ia menyadari bahwa pesantren bukan sekadar tempat sujud dan rukuk, tetapi taman kebajikan. Tempat jiwa-jiwa bertumbuh dalam persaudaraan dan solidaritas. Di sana, Sang santri ini menjadi saksi kedisiplinan yang terukir ketat, tak hanya menjadi rantai kewajiban. Berbagai kesempatan yang ada dipergunakan olehnya untuk menunaikan kewajiban shalat 5 waktu dengan para santri yang lebih berpengalaman itu. Ia memahami bahwa lantunan doa para santri adalah nyanyian hati yang mengajarkan kebersamaan, bukan keseragaman.
Terlintas di benaknya, bahwa selama ini keberagaman sudah tampak di sekelilingnya saat beraktivitas di kampung halamannya. Dalam tempo yang serba cepat, Ia temukan kebebasan yang hakiki untuk merangkul kenyataan. Pemahaman bahwa keberadaan manusia adalah untuk membawa keberkahan bagi sesama. Di tengah batas-batas syariat yang ada, ditemukannya ruang untuk saling berbagi, berinteraksi, dan saling mengerti dalam ukhuwah. Bunga-bunga yang tak seragam tapi menciptakan perpaduan warna taman, begitu pula manusia diciptakan berbeda untuk melengkapi, bukan meniadakan. Meski keyakinan mereka berbeda, Ia menyadari bahwa kasih sayang adalah bahasa universal yang menjadi fitrah dalam hati manusia.
Di balik tembok pesantren yang sederhana, kehidupan para santri berdenyut dalam keseimbangan antara ibadah dan ikhtiar. Usai menuntaskan tilawah pagi yang meneduhkan jiwa, mereka menyingsingkan lengan, menyapa bumi dengan cangkul dan doa. Di ladang, mereka menanam benih bukan hanya untuk hasil panen, tetapi juga untuk menumbuhkan kesabaran, tanggung jawab, dan cinta pada ciptaan Allah. Dalam setiap gumpalan tanah yang dicangkul, ada doa tak terucap dan keyakinan bahwa kerja keras akan selalu berbuah manis. Dengan tangan yang berpeluh, mereka belajar bahwa bertani bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga bentuk penghormatan pada bumi yang sudah diberikan oleh Yang Maha Esa.