Oleh Vio Alfian Zein.
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ
Beberapa minggu terakhir ini sejak disahkannya RUU Cipta Kerja oleh DPR RI pada hari senin malam pada tanggal 5 Oktober 2020, membuat kondisi Indonesia semakin memanas ditengah pandemi.
Gelombang penolakan secara massif terus berlangsung di berbagai kota dan provinsi di Indonesia, seluruh elemen masyarakat mulai dari buruh, petani, aktivis lingkungan, mahasiswa, serta pelajar turun memenuhi jalanan sebagai bentuk penolakan atas RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja sendiri dijuluki sebagai undang-undang sapu jagat karena merubah banyak undang-undang sebelumnya yang menurut pemerintah sangat menghambat laju investasi pemerintah. Pemerintah berpendapat bahwa selama ini peraturan yang ada sangat berbelit-belit dan banyak izin yang harus dilakukan sehingga membuat investor minder untuk berinvestasi di Indonesia.
Pemerintah juga berpendapat bahwa undang-undang ini akan mempercepat penyerapan tenaga kerja, sebagai obat dari pandemi covid-19 yang menyebabkan banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaannya.
Padahal dari data yang ada pada tahun 2019 realisasi investasi Indonesia sebesar 809,6 triliun, angka tersebut naik 12,24% dari tahun 2018. Menurut data yang Badan Koordinasi Penanaman Modal, serapan tenaga kerja lokal pada tahun 2019 mencapai 1.033.835 orang, angka tersebut meningkat dibanding tahun 2018.
Akan tetapi naiknya realisasi investasi dan penyerapan tenaga kerja tidak diikuti oleh turunnya angka pengangguran. Menurut data dari Badan Pusat Statistik angka pengangguran pada tahun 2019 naik menjadi 7,05 juta orang yang sebelumnya di tahun 2018 sebesar 7 juta orang. Belajar dari peristiwa tersebut, tentunya masyarakat akan bertanya-tanya apakah investasi merupakan solusi yang sangat tepat untuk menurunkan angka pengangguran.
Pasal yang dipermasalahkan adalah penghapusan pasal 59 yang membahas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga di masa mendatang buruh dapat dikontrak seumur hidup, alias minim jaminan menjadi karyawan tetap. Lalu pasal 156 Ayat 4, poin C yang terdapat pada UU Ketenagakerjaan yang berbunyi "penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat" juga dihapuskan.
Selain dalam sektor ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja juga menghapus dan merubah berbagai pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, salah satunya adalah Pasal 18 yang dicoret dalam RUU Cipta Kerja.
Fakta bahwa undang-undang tersebut akan merusak lingkungan dan merugikan kaum buruh membuat masyarakat memiliki kesadaran kolektif untuk menolak RUU tersebut. Proses kesadaran kolektif tersebut muncul dari proses sosialisasi berbagai pihak yang dirugikan melalui berbagai media.