Horatius adalah seorang penyair di zaman Kekaisaran Roma. Ia menulis buku Ars Poetica. Sebagai seorang penyair ia lebih membicarakan seni atau keindahan pada karya sastra atau puisi. Menurut dia ada empat syarat dari sebuah karya seni yang baik yakni: keharmonian dalam seni, bakat dan keterampilan, fungsi rekreasi/ hiburan dan pendidikan, dan prinsip kenikmatan dan manfaat.
Syarat pertama yang dikemukakan oleh Horatius ialah Keharmonisan dalam karya seni. Artinya kesesuaian dalam menentukan tema yang dipilih, yakni harus sesuai dengan tingkat usia, jenis kelamin, dan kelompok sosial tertentu. Hal ini menjadi sangat jelas di dalam karya sastra atau puisi, yang dapat kita pilih atau ciptakan sesuai dengan tema atau kategori tertentu. Apabila kita menerapkannya dalam seni bangunan, syarat ini juga tersirat di dalamnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan mengenai aktivitas sosial di rumah betang, ada tempat tertentu yang digunakan untuk keperluan khusus yang dibagi dalam tingkat usia, jenis kelamin, dan status sosial. Misalnya, dalam belajar kebijaksanaan, menenun, ritual, pengadilan adat, dan lain-lain.
Dalam karya seni perlu ada keseimbangan antara bakat dan keterampilan. Syarat ini sangat cocok diberikan pada seni bangunan, di mana di satu sisi diperlukan bakat alamiah, dan di sisi lain dibutuhkan teknik pengerjaan yang baik agar menghasilkan karya seni yang baik pula. Ukiran-ukiran pada dinding dan tiang pada rumah betang mengindikasikan bakat-bakat alamiah dari para pembuatnya (seniman). Imajinasinya terhadap alam dan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya tidak direpresentasikan secara sama atau persis sama dengan bentuk aslinya, sebagaimana yang dilakukan oleh para pelukis naturalis. Namun bentuk ini menjadi suatu motif yang indah, yang saling bertalian, dan mengandung nilai yang lebih dari pada sekedar representasi.
Fungsi sastra, yang tercermin pada puisi adalah memberikan rekreasi atau hiburan dan pendidikan bagi pendengarnya. Fungsi ini juga berlaku pada bentuk karya seni lainnya. Suatu bangunan dibuat tidak hanya sebagai tempat tinggal saja, tetapi dibuat seindah mungkin dan ditata dengan indah, sehingga rumah tersebut dapat memuaskan hasrat manusia akan keindahan. Di sinilah terletak fungsi rekreasi dari suatu bangunan. Demikian juga rumah betang, tidak hanya dibangun apa adanya, tetapi juga dihiasi dengan ukiran dan motif-motif, agar tampak keindahan bagi setiap orang yang memandangnya.
Kemudian, fungsi pendidikan ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi fisik dan akitivitas sosial. Secara fisik, rumah betang ini mengajarkan orang untuk tetap berwaspada terhadap berbagai macam bahaya di sekitarnya. Sikap antisipasi ini dibutuhkan untuk tidak terlena dalam kehidupan, tetapi tetap mawas diri dan berjaga-jaga. Dari aktivitas sosial yang dilakukan di rumah betang, secara jelas menampakkan adanya pendidikan moral dan nilai-nilai kehidupan yang diturunkan oleh pra orang tua kepada anaknya, baik dalam bentuk nasihat secara langsung, maupun kiasan yang terkandung dalam cerita rakyat dan pengalaman hidup.
Karya seni juga harus mengandung unsur kenikmatan sekaligus manfaat bagi hidup manusia. Kenikmatan dan manfaat ini memang sangat dekat pengertiannya. Sesuatu dapat saja memiliki manfaat kenikmatan, atau kenikmatan sebagai manfaatnya. Namun hal ini sangat berbeda jika manfaat ini diangkat pada level yang lebih tinggi yakni bermanfaat bagi kehidupan manusia secara integritas. Maka, dengan demikian kita menemukan sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak bermanfaat bagi hidup manusia, misalnya narkoba.
Dari fenomena rumah betang, kita dapat melihat perpaduan antara kenikmatan dan kegunaan, sebagaimana yang ditulis oleh Sir Alfred Wallace. Dari segi kegunaannya, bambu yang digunakan untuk membuat lantai rumah betang memberikan kenyamanan untuk berjalan dengan telanjang kaki dan untuk tidur karena elastis. Kemudian dari segi kenikmatan estetisnya, Alfred mengatakan, "Lantai ini dengan gesekan terus-menrus dengan kaki dan asap selama bertahun-tahun menjadi gelap dan mengkilap, seperti kayu walnut atau oak tua, sehingga bahan yang sebenarnya hampir tidak bisa dikenali."Di sini Alfred berbicara pada tataran kenikmatan estetis, yakni keindahan yang memberikan kenikmatan bagi setiap orang yang memandangnya. Ada suatu tranformasi dari bambu yang semula biasa-biasa saja menjadi sesuatu bernilai seni, hampir sejajar dengan kayu walnut atau oak tua.
Nilai-nilai luhur ini secara perlahan mulai luntur, dan tergores oleh cara hidup modern yang kian menyebar di berbagai daerah. Hilangnya nilai-nilai tradisional dapat mengakibatkan hilangnya jati diri suatu bangsa. Maka pentingnya melihat unsur keindahan dari suatu seni tradisional dan maknanya bagi kehidupan, supaya kita tetap mempertahankan tradisi dan budaya, dan tidak serta-merta menggantikannya dengan nilai-nilai modern yang ditawarkan kepada kita melalui media massa.
Hilangnya rumah betang dan diganti dewngan rumah modern dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan dari pemerintah akan kebijaksanaan lokal dari suatu kebudayaan. Pada tahun 1904, dikeluarkannya peraturan dari pemerintahan Kolonial Belanda agar setiap kepala keluarga membuat rumah tinggalnya masing-masing yang permanen. Rumah betang dianggap kurang higienis dan mudah memancing kebakaran. Dengan hilangnya rumah betang dan diganti dengan rumah yang terpisah satu sama lain memicu munculnya gaya hidup individualistik.
Tantangan dari seni tradisional selain dari perkembangan zaman yang memang berubah, juga disebabkan oleh setiap pribadi yang ingin menunjukkan otentitas pribadinya. Karya seni yang ditampilkan ingin sungguh-sungguh berbeda dan sama sekali menolak tradisi. Karya seni yang sesuai dengan tradisi dianggap biasa-biasa saja. Keinginan untuk berbeda dan serta-menolak suatu tradisi akan mengakibatkan hilangnya orientasi. Seni hanya menjadi hiburan semata yang tidak bertahan lama, dan tidak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia secara integritas.