Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Inilah kodrat manusia sejak ia dilahirkan. Maka, sebenarnya tidak ada manusia yang 100% mandiri. Apapun status dan pekerjaannya manusia tetap membutuhkan orang lain.
Oleh karena sifatnya yang sosial ini, maka pertanyaan tentang "Siapakah orang lain?" menjadi tema besar dalam sejarah Filsafat Barat. Salah satu pandangan yang ditawarkan adalah "Alter Ego". Orang lain adalah aku yang lain.
Apa konsekuensinya jika kita memandang orang lain sebagai aku yang lain (alter ego)? Ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:
1). Simpatik. Aku merasa simpatik kepada orang lain, karena aku menemukan diriku sendiri dalam diri orang lain. Karena aku melihat orang lain seperti diriku sendiri, maka aku harus memperlakukan orang lain sama seperti aku memperlakukan diriku sendiri.
2). Egosentris. Aku menganggap orang lain sama dengan diriku, tanpa melihat keunikan yang ada di dalam dirinya. Akibatnya, aku akan memaksakan kehendakku kepada orang lain, agar orang lain bisa melakukan sama seperti yang aku lakukan dan inginkan.
Kedua hal di atas bisa saja terjadi jika kita memandang orang lain sebagai aku yang lain. Tergantung diri kita sendiri mau mengarahkan pandangan dan perilaku kita ke arah yang mana: simpatik atau egosentris?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H