BERKATA JUJUR UNTUK KEBENARAN
(Sebuah catatan reflektif)
Kata benda "kebenaran" punya kata dasar "benar." Lawan kata "benar" adalah "salah," Jadi tidak ada yang lain, seperti keliru, bohong, kira-kira dan sejenisnya. Atas pemahaman dasar ini implementasi kebenaran ditegakkan, diperjuangkan dan dibela untuk menghadirkan keadilan.
Manusia sebagai manusia yang bermartabat dan terhormat, berbudi dan punya nurani tahu benar apa itu kebenaran, mana yang benar, mengakui secara sadar tentang kebenaran dan mewujudkan dengan benar dalam sikap-lakunya sehingga perbuatan di luar koridor benar adalah salah. Ini credo dan pedoman dasar.
Tentang kebenaran, ada banyak kajian dari berbagai sudut pandang dan paham. Dari padanya lahirlah aneka uraian, pengertian-pengertian dan pengelompokan.
Namun demikian tentang kebenaran sepatutnya hanya berhubungan dengan tiga hal dasar yaitu budi-intelectus, hati nurani-afeksi dan fakta-res. Maka kesesuaian antara ketiga hal ini adalah kebenaran.
Dua hal mendasar yang disebutkan di atas ada pada diri-pribadi manusia dan hal yang lain itu di luar manusia. Walau hal lain itu eksternal/ berada di luar diri-pribadi manusia namun berkaitan. Hal-hal ini berhubungan sangat kuat dan berpengaruh sangat besar satu terhadap yang lain.
Jadi mau ditegaskan bahwa satu hal mendasar tidak dapat hadir tanpa dua hal mendasar yang lain dan sebaliknya. Karena itu praksis dalam realita, kebenaran tidak bisa berdiri pada satu kekuatan saja.
Misalnya mengandalkan nalar (budi atau intelektus) saja untuk kebenaran, akan benar secara logic tetapi tidak real. Serupa pernyataan ini: "Sapi bertanduk, anak sapi tidak bertanduk, maka anak sapi bukan sapi."
Atau hanya mengagungkan kekuatan realita, seperti contoh: "itik berindukan ayam". Secara realistis kasuistik benar tetapi hal ini menjadi tanda tanya besar untuk kekuatan nalar, intelektus atau searti dengan pemikiran logic.