Lihat ke Halaman Asli

Silat Karo Tergerus Zaman

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dikutip dari www.vinsensius.info Kita mengenal silat tidak hanya sebagai teknik bela diri asli Indonesia, tetapi pula sebagai unsur penting dalam kebudayaan suku-suku, selain tari-tarian dan musik. Bahkan dalam beberapa hal, dua hal itu senyawa dengan silat. Dalam adat Minangkabau misalnya silat elemen yang selalu hadir dalam setiap perhelatan  adat, seperti dalam acara pinangan. Serupa dengan seni bela diri lainnya, silat Minangkabau sendiri tercipta karena konteks kebiasaan masyarakatnya. Kaum pria Minangkabau memiliki tradisi merantau ke luar lingkaran asalnya. Dalam logika kealamian agar tetap dapat bertahan hidup dalam dunia yang cenderung keras, membela diri dari gangguan dan bahaya lainnya adalah keharusan. Pada saat yang bersamaan logika internal yang hadir adalah kewajiban untuk mewariskannya kepada anak  dan cucu. Salah satu cara tentu saja dengan menghadirkan perguruan atau sanggar silat di kampung halaman. Dikombinasikan dengan elemen pendidikan lain misalnya agama, silat menjadi entitas penyokong keabadian tradisi suku.

Pencak Silat Karo Mannen voeren een vorm van Collectie: KITLV Collectie/Collection: Schrieke, B.J.O. Datum/Date: 1930 (disalin dari: http://karosiadi.blogspot.com/2010/11/musisi-kabanjahe-dan-pencak-silat.html)

Di sisi lain bela diri merupakan bagian tidak terpisahkan dari tradisi kemiliteran dan sudah lama diterapkan. Sebab, bela diri diajarkan sebagai pendidikan militer. Jepang misalnya memasukkan karate sebagai bahan ajar pendidikan militer yang pada gilirannya memungkinkan mendunia, menjadi salah satu cabang olahraga yang bergengsi. Militer Indonesia, selain silat juga memasukkan Tarung Drajat sebagi seni bela diri kontemporer yang memadukan beberapa seni bela diri yang lain. Pencak silat atau silat sendiri adalah seni bela diri yang berasal dari Asia Tenggara. Seni bela diri ini secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura, Filipina selatan, dan Thailand selatan sesuai dengan penyebaran suku bangsa Melayu nusantara. Berkat peranan para pelatih asal Indonesia, saat ini Vietnam juga telah memiliki pesilat-pesilat yang tangguh. Kini silat sudah mendunia. Dalam pembicaraan biasa bersama Pemimpin Redaksi Sora Sirulo, Ita Apulina Tarigan beberapa waktu yang lalu saya bertanya bagaimana kondisi Silat Karo sekarang. Pasalnya satu hari sebelum pembicaraan itu, tidak sengaja saya melihat Silat Karo di video musik Karo milik ayah saya. Di saat yang sama pikiranku mengembara kembali ke masa 26 tahun silam. Tatkala itu saya pernah menonton sinema elektronik di TVRI tentang Karo yang adegan ceritanya dibumbui Silat Karo. Yang menarik bukan saja gerakannya yang khas, tetapi kemampuan kanuragan atau metafisik yang memungkinkan sang pendekar berubah wujud menjadi binatang. Silat Karo juga bukan hanya olah raga bela diri, tapi merupakan seni tari yang indah yang ditampilkan dengan iringan gendang lima sendalanen. Setelah pertemuan bermedium televisi itu, saya tidak mencari tahu lagi tentang Silat Karo atau dalam bahasa Karo disebut mayan atau ndikkar. Sebagai pemuda urban lainnya, saya lebih sibuk dengan artefak kebudayaan komputer daripada mempelajari adat istiadat Karo. Dalam upaya mencari sisi kenikmatan menonton keyboard Karo melalui video yang mirip teknik Campur Sari, hingga hari ini orang Karo sangat jarang menampilkan Silat Karo di berbagai kesempatan, khususnya berpenciri adat. Saya tidak melihat Silat Karo dalam Kerja Tahun. Saya juga tidak mendapati Silat Karo dalam acara pernikahan (pasu-pasu), termasuk guro-guro aron. Padahal di acara yang satu ini di masa silam Silat Karo wajib ditampilkan. Saya pikir ini masalah besar. Apa jawaban Ita atas masalah itu? Sebagai pemimpin media komunitas untuk pembaca Karo, menurutnya Silat Karo mulai punah karena sangat sedikit orang Karo yang berminat mempelajarinya. Kalaupun ada yang mampu, ia hanya bisa mempraktikkan sekadarnya saja. Maka tidak heran Silat Karo kini mulai punah. Ita juga sependapat dengan saya bahwa Silat Karo tidak lagi dikenal, karena rendahnay kemampuan publikasi tertulis orang Karo. Maka, dapat dimaklumi sahabat saya tidak percaya kalau Karo punya silat. Dalam aksi kebudayaan Karo kontemporer, sangat sedikit yang sangat serius memeliharanya sebagai gugus kearifan lokal yang maha penting. Orang Karo sekarang lebih gemar ber-keyboard-ria, ramai-ramai menghaturkan keindahan tari dan musik. Tetapi tentu saja saya memuji keadian suara alat-alat musik tradisional Karo yang lebih memiliki ruh, meresap menembus raga pendengar. Jika di masa silam pendekar Silat Karo memiliki citra istimewa berbanding seniman musik, bagi saya hari ini yang mendapat lebih banyak tepukan tangan adalah “pendekar keyboard”. Jelas, zaman kian menggerus Silat Karo pada titik terendahnya. Guru Silat Karo memang ada di sebuah kampung jauh di Kabupaten Karo. “Ada satu orang yang masih hidup, tetapi sudah tua sekali usianya. Pipinya saja sudah cekung,” ujar Ita sambil mencekungkan pipinya. Tidak jelas apakah sang guru memiliki murid atau menulis kitab. Yang jelas sepengetahuan Ita, Silat Karo tidak memiliki perguruan. Beberapa ada yang berupaya memeliharanya hanya sebagai elemen kecil dari sanggar seni Karo bersama musik dan tari. Sora Sirulo beberapa waktu silam juga pernah menelusuri jejak-jejak Silat Karo di Pertumbungen yang beritanya saya kutip dari www.sorasirulo.net. Berita ditulis Caranta dengan beberapa gubahan dari saya. Pertumbungen adalah desa terpencil di Kecamatan Munte, Kabupaten Karo. Desa ini berpenduduk sekitar 300 jiwa dengan 100 KK. Jaraknya sekitar 4 km dari Munte. Di sana pernah tinggal seorang pendekar Karo yang cukup terkenal di era 1970-an hingga 1980-an. Namanya Pa Mayan Surbakti. Like father like son, sang putra, Mayan Surbakti juga piawai ermayan mewarisi “kesaktian” seperti ayahnya. Sang pendekar bukan saja ahli ndikkar dan ermayan, juga sangat tangkas memperagakan alat bela diri modern seperti rantai Bruce Lee. Semasa hidupnya, dia mengikuti banyak olah raga bela diri di luar silat Karo untuk menambah kemampuan bela dirinya. Menurut salah seorang murid Mayan, dulunya banyak pelatih bela diri yang datang kepada Pa Mayan untuk berlatih. Sebelum berlatih, umumnya mereka mencoba kemampuan mereka dengan Pa Mayan, namun mereka dikalahkan oleh Pa Mayan. Mereka salut, angkat tangan dan berguru kepadanya. Sambil bercerita panjang lebar tentang keberadaan silat Karo di Pertumbungen, mantan muridnya ini memperagakan beberapa jurus yang ia pelajari dari Pa Mayan. Ternyata, di samping ada unsur seni hiburannya, Silat Karo memiliki jurus-jurus maut. Ita Tarigan bilang ada satu lagi seorang pendekar Silat Karo yang telah melanglang buana mengajarkan ilmunya. Yang satu ini memang  belum kempot, masih bertenaga muda tetapi mengaku tidak bisa melenting tinggi akibat faktor usia. Dia punya kitab yang diturunkan ayahnya, termasuk sebuah perguruan. Namun, jangan berpikir ada di tanah kelahirannya. Jangan berpikir muridnya kebanyakan adalah orang Karo sendiri. Siapakah sang pendekar? Namanya Yakinsyah Brahmana, seorang Karo yang lama tinggal di negeri kincir angin. Di sana, tepatnya di Sekolah Kristen Oikumene di Groningen, Yakinsyah mengajar mayan kepada lebih dari 200 siswa sekolah dasar dasar itu.

Yakinsyah Brahmana

Seperti yang dikutip dalam dokumentasi berita Sora Mido, Yakinsyah berucap, “Setidaknya lebih dari 200 orang telah belajar ndikkar Karo disini, oleh sebab itu suatu saat bisa saja pandikkar-pandikkar akan datang dari Belanda ini dan kita akan belajar dari mereka.” Wow, saya langsung membayangkan kelak ada beberapa billboard di Padang Bulan berisi ajakan belajar Silat Karo. Ada gambar seorang Belanda di sisi kanannya, seorang guru Silat Karo, hasil godokan Yakinsyah. Ukurannya setinggi billboard itu! Belajar Silat Karo dari orang Belanda tentu saja kenyataan yang menyebalkan. Bertualang menurunkan ilmu Yakinsyah sendiri banyak belajar gerakan-gerakan mayan dari beberapa guru mayan Karo sejak tahun 1981 hingga tahun 1992, ketika dia masih berprofesi sebagai tourist guide di Berastagi dan Sungai Alas, Aceh Tenggara. Yakinsyah belajar dari banyak guru di berbagai kampung, seperti Seter Sembiring (Lau Baleng), Pa Kuling-Kuling atau Menet Ginting (Lau Cimba), Pa Johan Barus (Pendekar Buntu), Belat Tarigan (Kaban), Tagok Peranginangin (Lau Buluh), dan berbagai informasi dari Ginting Capah (Beganding), dan Tukang Ginting (Berastagi). Yakinsyah mendapatkan ilmu Silat Karo dari ayahnya. Ketika masih bocah sang ayah memberikan kepadanya kitab silat buatan ayahnya berharap sang anak mempelajarinya. Menurut Yakinsyah ayahnya benar-benar paham teori bersilat, tetapi kurang dalam praktik. Untuk itulah sang ayah mencarikannya seorang guru. “Ayah menganjurkan saya belajar Silat Karo supaya saya memiliki rasa percaya diri yang besar. Dengan demikian saya bisa mudah bergaul dengan banyak orang,” jelas Yakinsyah. Berkat kemahirannya bersilat itu pula di masa mudanya ia menjadi lebih dekat dengan noni-noni Belanda. Berdasarkan pengalamannya dari tokoh-tokoh pendekar Karo tersebut, Yakinsyah juga telah menampilkan mayan di berbagai ajang pertunjukan seni di Eropa, misalnya di Pasar Malam Den Haag, Tong-Tong Fair, Zundert, dan sebagainya. Dengan pengetahuannya tersebut ia diminta mengajarkan mayan sejak tahun 2002 di sekolah. Setiap semester ada sekitar 15 orang peserta. Setidaknya beberapa jurus Silat Karo ia ajarkan kepada para murid di sekolah orang Belanda tersebut, seperti jurus pertahanen, langkah 2, langkah 7, tare-tare bintang, jile-jile sarudung, pertahanen harimau, pertahanen pedi, dan sebagainya. “Sebenarnya ada 48 jurus mayan, setidaknya para siswa sudah dapat buang lepas,” kata Yakinsyah seperti yang dikutip dari Sora Mido. Kami pun berguru Dari pembicaraan bersama Ita itu, kami sepakat mengundang Yakinsyah, sang pendekar hadir di depan kami yang kebetulan sedang berada di Medan. Saya pastilah senang, karena ini kesempatan langka, seperti bertemu fosil dinosaurus.Tentu saja kami tak sekadar berdiskusi, mencari jawaban tetapi hendak belajar langsung beberapa jurus dasar. Kami berguru. Pertemuan pertama pada Jumat, 29 Juli 2011 lalu jauh dari sebutan ramai. Padahal ajakan kepada teman-teman lain sudah disampaikan. Yang berminat ada 10 orang, 5 orang dewasa dan 5 lagi kaum bocah. Kami tak menyangka sang guru ternyata sudah menuliskan sebelumnya beberapa materi yang hendak diajarkan. Maksudnya supaya lebih sistematis. Tetapi, karena tahu kami buta sama  sekali soal Silat Karo, terutama yang paling mendasar: mengikat sarung di pinggang, ia pun menyesuaikan cara penyampaian dengan lebih sederhana. Pertemuan kedua pada 31 Juli 2011 di malam hari “murid” yang datang berkurang, hanya 3 orang di antaranya Ita Tarigan sendiri dan Ananta Perangin-angin jurnalis waspadaonline.com. Apa kesan pertama bertemu pendekar Silat Karo? Yah, jujur saja sebenarnya biasa-biasa saja. Tampang pendekar yang satu ini jauh dari kesan sangar seperti jagoan Taekwondo Advent Bangun yang juga aktor film laga Indonesia itu. Pendekar Yakinsyah yang berkacamata ini rajin tersenyum dan sulit berhenti bercerita, kecuali saya “serang” dengan pertanyaan. Barangkali ini karena sudah bawaan orok dan profesinya dulu sebagai pemandu wisata. Ia juga gemar merokok dan tak lupa menenggak Coca-Cola. Well, seperti bela diri lainnya tentu kami belajar soal kuda-kuda dulu. Kemudian dilanjutkan gerakan dasar tangan memutar mirip Tari Piring orang Minangkabau. Silat Karo mengenalnya sebagai rampung belo. Satu variasi dari gerakan itu disebut tare-tare bintang. Dalam praktiknya dengan tangan kosong satu tangan digerakkan dengan telapak tangan terbuka, jari-jari merapat. Kedua-duanya digunakan untuk menyerang lawan. Dengan gerakan serupa, menggunakan senjata hasilnya dapat dipastikan melumpuhkan lawan. Pasalnya Silat Karo menurut Yakinsyah lebih banyak didominasi mengelak dan menyerang daripada menangkis serangan. Atau dengan kata lain, setiap kali serangan datang tidak langsung dibalas menangkis, tetapi langsung mengelak dan membalas serangan yang berefek melumpuhkan. Inilah ciri khas Silat Karo tegas Yakinsyah. Dalam logika saya dengan teknik seperti itu berarti menghemat gerakan karena minus menangkis, sembari mengalihkannya kepada serangan yang telak. Nah, andaikata saya menendang Yakinsyah ke arah perut dengan kaki kanan, maka ia tidak mendorong balik kaki saya ke bawah sebagai gerakan tangkisan. Yang perlu ia lakukan adalah langsung menumbukkan pangkal telapak tangan atau tinju ke arah tulang kering dengan kekuatan penuh. Efeknya, untuk sementara mungkin saya tidak bisa menekan rem kaki sepeda motor saya. Dalam beberapa hal, seperti bela diri lainnya, Silat Karo mampu menghimpun energi serangan lawan yang dielakkan sebelumnya dan dijadikan tambahan energi kekuatan balas. “Kalau dihitung-hitung bisa mencapai 150 persen energi,” kata Yakinsyah. Berladang jagung untuk Silat Yakinsyah juga sangat prihatin dengan Silat Karo yang tidak dipelihara oleh tanah kelahirannya. Sebagai warisan leluhur yang  pernah berjaya, Silat Karo justru dipelajari oleh bangsa lain dengan sungguh-sungguh. Walaupun Yakinsyah bangga hanya bisa mengajarkan itu kepada orang bukan Karo dan bisa mendapatkan uang dari itu, bagi saya ada tersirat penyesalan dalam diri Yakinsyah. Tetapi, di atas semua itu mengajarkan Silat Karo kepada orang bukan Karo mungkin adalah jurus terbaik menghadirkannya ke permukaan publik daripada tidak sama sekali. Apalagi di tengah kondisi di Tanah Karo sendiri yang memang tidak memungkinkan. Nah, seperti cerita-cerita dunia persilatan, seorang guru sulit bertahan lama di sebuah tempat meskipun sudah mendirikan perguruan dan mendapatkan banyak sahabat. Demikian pula Yakinsyah yang mengaku mulai jenuh di tinggal Belanda. Ada kerinduan yang amat sangat tergambar di wajah sang pendekar untuk kembali ke tanah kelahirannya. “Saya berniat berladang jagung sembari mendirikan perguruan Silat Karo di kampung. Sebagian hasil menjual jagung bisa dimanfaatkan mendirikan semacam padepokan,” kata Yakinsyah. Menunggu niat itu terkabul Yakinsyah kini berkeliling mewacanakan gerakan mengenal Silat Karo ke tingkat lebih tinggi. Setidaknya upaya publikasi tertulis yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya di berbagai media bisa menjadi instrumen penting bagi laju wacana tersebut di hadapan publik. Di masa depan adalah harapan bersama komunitas Karo akan terbit sebuah kitab tentang Silat Karo sebagai jurus yang adiwacana.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline