Dikutip dari: www.vinsensius.info
Kalangan awam memandang pers/media massa/wartawan berada dalam posisi netral dan independen. Setiap berita yang disampaikan adalah objektif, fakta dan benar, serta merupakan refleksi realitas di masyarakat. Dalam pandangan keilmuan yang beraliran pluralis (liberalis; positivistik; fungsional) media diyakini memainkan peranan besar dalam membentuk kesepakatan (konsensus) dalam masyarakat secara alami. Wartawan juga adalah elemen media yang dinilai mampu menyingkirkan opini dan pandangan subjektifnya dalam berita. Inilah arus utama (mainstream) pemikiran masyarakat dan pers Indonesia saat ini (terlebih angin segar kebebasan pers dihembuskan.
Namun, ilmuwan sosial Stuart Hall dengan pandangan kritisnya justru menilai konsensus ini terjadi lewat proses yang kompleks dan melibatkan kekuatan-kekuatan sosial di dalam masyarakat. Hall menegaskan media sesungguhnya membentuk kesadaran (manufactured consent), atau dengan kata lain informasi-informasi dalam berita yang diproduksi media adalah hasil konstruksi kerangka pikir si wartawan dan konteks sosial masyarakatnya. Wartawan tidak berperan sendiri dalam menyampaikan pesan kepada khalayak tetapi banyak konteks, kondisi, ideologi yang mempengaruhinya, sehingga subjektivitas sulit dihindarkan!
Lebih lanjut pandangan kaum kritis, media massa tidak lebih bagian dari struktur sosial masyarakat yang mendominasi ideologi lapisan lain. Media tidak dipandang secara sederhana langsung membentuk konsensus di dalam masyarakat, tetapi realitas yang dihadirkannya adalah realitas yang dikonstruksi melalui serangkaian kondisi, opsi dan ideologi ketika realitas itu ada. Dengan serangkaian proses itulah media massa sesungguhnya mendefinisikan realitas yang lain untuk memapankan satu orang/institusi/situasi dan menyudutkan orang/instansi/situasi yang lain.
Dapat dikatakan pers memang dalam bekerja tidak bisa terhindar dari subjektivitas. Menjadi jelas, aktivitas media massa adalah persoaan siapa memihak siapa untuk mengukuhkan suatu kondisi guna memecahkan atau menghilangkan kondisi dan pihak lain.
Bukankah wartawan dengan penggunaan konsep nilai-nilai berita (Timeliness, Significance, Magnitude, The Unusual, Conflict, Proximity, Prominence, Human Interest) memberikan batasan sebagai opsi mana yang menjadi layak atau tidak menjadi berita? Ini juga bisa dikategorikan sebagai subjektivitas!
Hal ini ditegaskan Eriyanto (2001:29), bahwa konstruksi realitas lewat media sesungguhnya diproduksi oleh representsi dari kekuatan-kekuatan sosial dominan yang ada di dalam masyarakat. Akhirnya ketika kondisi yang ditunjukkan media itu hadir dalam masyarakat, hal itu justru dianggap realitas yang alami dan wajar. Tidak ada yang aneh di dalamnya yang perlu dikaji ulang. Dalam tahapan ini masyarakat menerima tawaran realita di media massa apa adanya! Padahal makna sebuah realitas adalah relatif dalam pandangan orang banyak.
Dalam pandangan kaum kritis, pers diberi koridor untuk menafsirkan kondisi ini dengan caranya sendiri. Di mana tafsiran itu menjadi sangat fokus dalam satu realitas terhadapa masyarakat. Apa, bagaimana dan mengapa realita ini direkonstruksi, inilah yang menjadi fokus sebuah studi kritis. Adalah ideologi sang wartawan, kondisi serta konteks politik, sosial dan ekonomi sangat mempengaruhi ketika dilakukan penafsiran.
Hal ini menjadi sangat tegas dalam pernyataan Ade Armando (1998:161-162) bahwa polanya adalah media menyeleksi realita, memberi penekanan pada bagian-bagian tertentu seraya mengabaikan bagian-bagian lain, dan menciptakan “realita baru”. Pada akhirnya konsumenlah yang menyesuaikan diri dengan kenyataan bentuk media tersebut.
Mengenai posisi media, pandangan kritis menilai media hanyalah struktur sosial yang didominasi orang yang berkuasa dan menjadikannya sebagai sarana untuk memojokkan orang lain. Hasil liputannya tidak objektif, karena wartawan adalah bagian dari kelompok/struktur sosial tertentu yang lebih besar (Eriyanto, 2001:33).
David Barrat (1994) dalam Eriyanto mengungkapkan media justru membantu kelompok dominan untuk menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain antar anggota komunitas. Lewat medialah ideologi dominan, apa yang baik dan benar, dan apa yang buruk dimapankan. Singkatnya media memiliki kesempatan dalam kondisi apa saja untuk mendistorsi informasi dan membatasi ruang gerak pihak lain (marjinalisasi/dipojokkan).