Keuskupan Ruteng bidang Komisi budaya dan pariwisata mengadakan seminar sehari tentang “ Ecowisata berbasis budaya lokal dan berkeadilan sosial Sabtu(25/03/2015) di Youth center Labuan Bajo. Dalam kata sambutannya ketua Panitia Rm. Ino Sutam menyampaikan bahwa ada berbagai masalah yang menjadi tantangan untuk mengembankan pariwisata yaitu 5R yakni Reis, Ruis, Raes, Raos dan Ras artinya pariwisata mesti dibangun atas dasar saling mendengarkan, kebersamaan, musyawarah dalam suasana kekelurgaan. Romo Robertus Pelita sebagai vikep Labuan bajo menjelaskan bahwa saat ini Labuan Bajo mengalami perubahan drastis. Perubahan ini ditandai dengan munculnya berbagai bangunan hotel Pariwisata di Labuan Bajo. Ditengah maraknya kemajuan ini maka kehadiran pariwisata harus memberi dampak positif bagi masyarakat dan bermanfaat bagi banyak orang. Setelah itu ia membuka diskusi secara resmi.
Dalam seminar ada tiga pemateri yakni Rm. Martin Chen sebagai perwakilan Gereja. Ir. Theodorus Suardi, M.Si sebagai wakil pemerintah dan Romo Inonsensius Sutam dari persepsi budaya. Moderator dalam diskusi ini adalah Silvester Joni. Romo Martin Chen dalam paparanya menegaskan bahwa bagi gereja, pariwisata dilihat bukan hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga sebagai pastoral. Mengapa Gereja terlibat dalam pariwisata? Alasan Pertama adalah kemanusiaan. Sektor pariwisata saat ini melibatkan milyaran manusia. semua sektor terhubung ke pariwisata. Transportasi, pertanian, kelautan/perikanan, perdagangan, industri budaya. Dasar ini mendorong Gereja terlibat. Gereja mengharapkan, pariwisata dapat mengembangkan hidup pribadi manusia.. Pariwisata juga melibatkan dimensi perdamaian. Pariwisata membuka perjumpaan dengan berbagai macam keunikan manusia. Perbedaan ini mesti menciptakan sikap perdamaian dan solidaritas social. Pariwisata mesti menjaga kelangsungan ekologis, menghargai ciptaan serta menciptakan kawasan hijau. Hasil sidang dan kode etik nasional, pariwisata wajib menjaga keutuhan ciptaan untuk menjaga keberlanjutan kehidupan. 50 meter dari garis pantai ke daratan adalah ruang kosong yang menjadi milik warga. Sementara Ir. Theodorus Suardi menyampaikan bahwa sesuai dengan peraturan pemerintah menekankan pariwisata yang berbasis masyarakat artinya pengelola, kelembagaan dan usaha dilakukan oleh seluruhnya oleh masyarakat. Namun anehnya dari hasil penelitian hanya 0,05 % pariwisata dinikmati oleh masyarakat.
Diskusi ini semakin hangat dengan berbagai pertanyaan yang diajukan peserta berkaitan penolakan privatisasi pantai Pede. Fidelis pranda mengugat pemateri berkaitan status pantai Pede. Sementara Felik Beda Tukan menanyakan soal tanggapan pemerintah berkaitan dengan pembangunan yang sedang dijalankan di pantai Pede. Romo Martin Chen dalam tanggapannya dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Manggarai Barat telah mengangkangi perintah Mendagri untuk menjadikan pantai Pede sebagai ruang publik. Surat Mendagri merupakan keputusan tertinggi dan mesti dilaksanakan. Ini adalah perintah undang-undang. Hal ini di tambahkan oleh Kadis pariwisata Theodurs Suardi bahwa Pemda belum memberi ijin lingkungan untuk PT. Sarana Investama Manggabar(PT. SIM). Namun PT. SIM tidak menghiraukan soal itu. Mereka tetap memaksa untuk melakukan pengerjaan dilokasi. Ferdi Pantas menegaskan bahwa jika PT. SIM tetap memaksa untuk membangun, maka kita harus duduki Pantai Pede dan melakukan proses hukum. Tekanan pertama yang dilakukan adalah kepada Bupati Manggarai Barat. Romo Martin Chen menyayangkan sikap diam masyarakat Manggarai Barat terhadap berbagai kebijakan yang tidak berpihak untuk rakyat serta investor yang tidak berpihak dengan masyarakat lokal“ Berkaitan dengan pembangunan dipantai Pede, kita akan melakukan tekanan publik dalam waktu dekat” Katanya. **Vinsen Patno
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H