Lihat ke Halaman Asli

Vinka Agustine

Mahasiswi Digital Public Relations

Pendidikan Tinggi di Ambang Pandemi

Diperbarui: 31 Desember 2020   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perkuliahan secara offline (pixabay.com)

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 2019-2024 memberikan lampu hijau untuk dibukanya kembali perkuliahan dengan syarat tertentu untuk diadakannya kegiatan pembelajaran tatap muka. Pihak kampus yang menginginkan kuliah offline diminta Nadiem untuk mempersiapkan secara matang segala kebutuhannya sejak akhir tahun ini. 

Fasilitas yang harus disiapkan tersebut antara lain adalah penyediaan tempat cuci tangan, hand sanitizer, ruangan kelas yang mampu menampung kapasitas maksimal 50% mahasiswanya dengan jarak, dan hal lainnya yang berhubungan dengan protokol 3M (Mencuci tangan, Memakai masker, dan Menjaga jarak).

Namun, hal tersebut akan menjadi sulit mengingat setiap perguruan tinggi memiliki minimal ribuan mahasiswa pertahunnya, maka interaksi atau kontak secara langsung tidak dapat dipungkiri akan terjadi selama kegiatan perkuliahan nanti. Usia yang masih muda dan fisik yang masih bugar tidak bisa menjamin generasi milenial ini ke dalam pengecualian untuk terpapar Virus Covid-19. 

Belum lagi ruangan kelas yang hanya boleh diisi 50% dari jumlah mahasiswa perkelasnya membuat pihak kampus harus memutar otak untuk penyediaan fasilitas tersebut dan rolling jadwal tiap kelasnya. Bukan hanya itu, tiap ruangan juga harus bisa memberi jarak antar tempat duduk dan mempunyai ventilasi udara yang bagus.

Keputusan tersebut membuat saya sebagai mahasiswa beserta mahasiswa lainnya resah juga khawatir dan tidak setuju jika benar tahun depan perkuliahan bisa diadakan secara tatap muka. Terdapat beberapa alasan mengapa izin dari Nadiem ini perlu dipertimbangkan lagi menurut saya. 

Pertama, kasus Covid-19 di Indonesia saja masih merajalela. Penerapan protokol kesehatan bisa dibilang rendah melihat berbagai tempat hiburan dan tempat umum lainnya bebas beroperasi tanpa diterapkannya protokol kesehatan 3M secara ketat. Para wisatawan antar kota yang bebas keluar masuk tanpa diberlakukannya tes Covid-19 dan banyaknya libur nasional yang turut menyebabkan tingginya angka kasus Virus Wuhan di negara ini.

Kedua, kampus bisa menjadi kluster baru untuk penyebaran virus ini. Sangat sulit untuk menertibkan dan mengawasi para mahasiswa agar tidak berkerumun. Selain itu, kita tidak tahu rute perjalanan atau kegiatan mereka di luar kampus. Para mahasiswa tersebut bisa saja telah mengunjungi beberapa tempat dan terpapar Virus Covid-19 tanpa gejala dan menyebarkannya pada mahasiswa dan staf lain. 

Kita juga tidak tahu apakah mahasiswa tersebut menerapkan protokol 3M atau tidak, kita tidak tahu dan hal itu harus jadi kewaspadaan bagi para masing-masing individu. Maka sangat mungkin bagi para universitas tersebut untuk menjadi rantai baru yang ikut menyumbang angka kasus penyebaran Virus Corona.

Selain kluster baru, baru-baru ini Indonesia mendatangkan vaksin Sinovac. Vaksin yang direncanakan dipakai pada tahun 2021 ini belum bisa digunakan dan belum tentu teruji dengan baik atau aman. Bahkan belum ada vaksin yang terbukti bisa melemahkan Virus Covid-19. 

Beda cerita jika vaksin yang kita punya efektif bisa melemahkan virus ini dan aman disuntikkan pada manusia, mungkin pembukaan kegiatan belajar tatap muka dalam waktu dekat dirasa aman. Namun kenyataannya, hingga saat ini belum ada informasi yang menunjukkan suatu vaksin bisa melemahkan virus tersebut dan menjadikan kehidupan manusia normal kembali seperti biasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline