Lihat ke Halaman Asli

Sumbangsih Rakyat untuk JKN, Sudut Pandang Lain dalam Pendanaan JKN

Diperbarui: 24 November 2019   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa waktu yang lalu penulis membuat artikel mengenai tawaran ide yang mungkin dapat menjadi alternatif solusi untuk permasalahan defisit pada program JKN berikut link artikel: Potensi Sumber Pendanaan JKN, Bukan Pajak, Tetapi Kontribusi

Penulis belum terlalu berani membuka ide ini ke publik karena memang belum ada kajian yang kita lakukan secara komprehensif terkait ide tersebut serta angka-angka perhitungan pastinya dan dampak positif negatif yang akan ditimbulkan. 

Semua yang tertuang masih sebatas pemikiran penulis berdasarkan logika semata, dan perhitungan secara logika, belum diikuti data-data sebenarnya di lapangan.

Terkadang ide ini masih muncul, apakah ini memang bisa menjadi sebuah solusi untuk permasalahan program JKN? untuk menjawabnya sudah sangat pasti kita butuh sebuah kajian yang komprehensif mengenai ide solusi dari permasalahan defisit program JKN tersebut. Selama di Jakarta, penulis menanyai dua orang yaitu bapak supir dan bapak pensiunan, apakah keduanya setuju jika nantinya dalam program JKN tidak lagi membayarkan iuran namun setiap barang yang mereka beli dan konsumsi akan dinaikkan sebesar 2%, seperti membeli air mineral seharga Rp3ribu yang berarti akan ditambahkan 2%nya (Rp60) menjadi Rp3.060,- (jika dipasaran kemungkinan bisa menjadi Rp3100 atau lebih). Bapak supir menjawab sangat setuju, "..lebih enak seperti itu...", kata beliau. Bapak yang seorang pensiunan (berusia 81 tahun masih sehat, sangat hafal dan lancar menyebutkan nomor hp beliau ketika saya menanyakan) setelah mendengar itu langsung menyalami saya sambil mengatakan bagus itu dan kemudian pergi. Beliau merupakan salah satu responden sebuah kajian lain, saya terketuk ketika beliau mengatakan "UU itu kan dibuat oleh manusia, kita ini sudah tua, hanya ingin menjalani dengan tidak dipersulit",...."seperti itu, masih banyak orang yang tidak mampu...". Dalam hidup sebagai seorang peneliti terkadang kita memang tidak dapat memperhitungkan sesuatu secara instrumental saja berdasarkan untung rugi dengan angka-angka ekonominya, namun juga harus ada nilai (value) didalamnya, dampak psikologis sosial dan kemanusiaan yang mungkin bisa lebih besar nilainya. Konsep mengenai value ini diajarkan oleh senior saya di pusat penelitian kami. 

Dalam artikel kali ini penulis akan menuangkan kembali ide Sumbangsih Rakyat untuk JKN. Ide ini khususnya ditujukan untuk Bapak/Ibu pembuat kebijakan yang mungkin dapat menjadi salah satu alternatif sudut pandang lain dalam solusi permasalahan program JKN.

Sumbangsih Rakyat untuk JKN  

 Ide ini muncul dari permasalahan defisit program JKN, dimana yang terjadi saat ini jumlah klaim layanan kesehatan jauh lebih besar dari iuran JKN yang terkumpul dari seluruh peserta aktif  di Indonesia. Pada tahun 2019 ini BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan diproyeksikan mengalami defisit sebesar Rp 32,8 Triliun. Tentu saja angka ini bukan angka yang kecil, dimana saat ini menteri kesehatan sedang mengkaji klaim untuk penyakit jantung sendiri yang besarnya sekitar 10 trilliun rupiah.

Selanjutnya dalam upaya mengatasi defisit ini pemerintah mengeluarkan Perpres No.75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres No.82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019. Isi perpres ini adalah mengenai kenaikan iuran JKN pada kelompok PBI APBN dan APBD (dari 23ribu ke 42ribu), PPU (dari 5% gaji pokok dengan batas atas maksimal gaji Rp8juta menjadi 5%take home pay dengan batas atas maksimal gaji Rp12juta) dan kelompok PBPU dan BP (kelas 3 dari Rp25.500 menjadi Rp42ribu; kelas 2 dari Rp51ribu menjadi Rp110ribu; kelas 1 dari Rp80ribu menjadi Rp160ribu). Kenaikan iuran PBI APBD dan APBN telah dilakukan sejak bulan Agustus tahun 2019, sedangkan untuk kelompok PPU, PBPU dan BP akan diberlakukan mulai Januari tahun 2020. 

Penulis sepakat bahwa iuran harus dinaikkan karena memang kondisi saat ini klaim pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia yang menggunakan JKN-KIS lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya. Namun ketika kita melihat berapa besar kemampuan membayar rumah tangga (RT) untuk iuran JKN satu keluarga berdasarkan 5% dari seluruh total pengeluarannya jawabannya adalah hanya 10% dari seluruh peserta Pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan Bukan Pekerja yang kemampuan membayarnya pada kelas I dan tidak akan berdampak terhadap kenaikan iuran JKN-KIS. Sisanya(90%) ada yang kemampuan membayarnya pada kelas 2, kelas 3 dan ada yang tidak mampu(unable) yang kemudian berpotensi menunggak membayar atau mungkin saat ini sudah merupakan bagian dari 46,3% kelompok PBPU yang menunggak membayar iuran JKN.

 Jika kenaikan iuran JKN menyebabkan peserta turun kelas pelayanan hal ini akan berdampak terhadap revenue (pemasukan dari iuran) program JKN, namun peserta tersebut beserta anggota keluarganya masih aman memiliki perlindungan ketika sakit. Jumlah revenue masih belum banyak terganggu jika 90% dari kelompok PBPU yang terdampak melakukan turun kelas perawatan, dimana 10% yang tidak terdampak (tingkat ekonomi teratas) tetap memilih pelayanan di kelas I. Namun jika 10% tingkat ekonomi teratas di sektor PBPU dan BP (rata-rata penghasilan sebulan Rp17,7 juta, dengan minimal Rp10juta dan Maksimal Rp110juta) juga melakukan turun kelas pelayanan maka revenue program JKN tidak akan berbeda dari sebelumnya dan/atau berpotensi turun sesuai besar tingkatan penurunan kelas-nya dan frekuensi RT yang turun kelas.

Mendapatkan hasil seperti tersebut penulis mencoba berfikir melompat dari sistem yang ada saat ini. Berfikir mengenai konsep yang seharusnya yaitu setiap peserta berkontribusi (bergotong royong) dalam program JKN sesuai dengan kemampuannya. Jika dalam teori kemampuan membayar Russel (rata-rata rumah tangga di LMIC mengeluarkan 2-5% dari total pengeluarannya untuk kesehatan). Dengan pemikiran jika semua masyarakat Indonesia berkontribusi/gotong royong dalam program JKN maka iuran tidak perlu dinaikkan (Hukum bilangan besar) dan konsep volume based, semakin besar pembaginya maka nilainya menjadi akan semakin kecil  (jika proyeksi penduduk indonesia menurut BPS tahun 2018 adalah 265 juta jiwa maka pada saat tersebut kemungkinan ada sebanyak 66.250.000 (66 juta RT  jika rata-rata 1 RT terdiri dari 4 Anggota rumah tangga) atau 53 juta RT jika setiap RT terdiri dari 5 ART. Jika saat ini program JKN membutuhkan dana 100 triliun per tahun maka berapa 1 RT harus menyumbang setiap tahun? jawabannya sekitar Rp1.509.434 hingga Rp1.886.792 per tahun atau Rp125.786 hingga Rp157.233 per bulan, ini perhitungan sederhananya. Berapa rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia tahun 2018 (berdasarkan data susenas tahun 2018, rata-rata pengeluaran sektor PBPU dan BP pada tahun 2018 adalah Rp6,2 juta berapa 2% dari Rp6,2juta jawabannya adalah Rp124.000, dimana rata-rata jumlah ART di Indonesia adalah 4 orang (berdasarkan susenas 2018). Angka 2% untuk membayar iuran masih akan aman bagi rumah tangga ketika RT tersebut tidak perlu lagi membayar untuk pelayanan kesehatan ketika sakit. Asumsinya jika dikelola dengan lebih efisien Dana Jaminan Sosial (DJS) tidak akan menghabiskan hingga 100 triliun per tahunnya. Dengan perhitungan sederhana seperti ini maka akan ketemu antara kemampuan membayar rumah tangga dengan total klaim yang perlu dibayarkan untuk tagihan dari pelayanan kesehatan peserta JKN-KIS setiap tahunnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline