Saat ini tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi dinaikkan menjadi 11%. Dengan kenaikan tersebut, harga sejumlah barang dan kebutuhan masyarakat juga ikut meningkat. Melalui pemberitahuan tertulis dari Kementerian Keuangan, keputusan ini diamanatkan oleh Pasal 7 Undang-Undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan rata-rata tarif PPN negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) saat ini adalah 15 persen. Selain itu, Menteri Sri Mulyani juga menekankan bahwa pajak merupakan gotong royong di sisi perekonomian Indonesia yang relatif kaya. Karena pajak yang terkumpul digunakan kembali untuk masyarakat.
Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) meski kecil, namun diyakini akan berdampak pada masyarakat dan penjualan barang. Selain itu, kenaikan PPN akan diterapkan saat harga pangan naik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah berbicara tentang masalah ini. Pemerintah mengatakan kenaikan tarif PPN di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan di negara lain.
Meski Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan pada 29 Oktober 2021, beberapa ketentuan dalam UU tersebut belum juga berlaku termasuk dalam ketentuan untuk mengubah Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai akan berlaku pada 1 April 2022.
Salah satu perubahan mendasar adalah penyesuaian tarif PPN dari 10% menjadi 10% 11%. Perubahan tarif pajak sebesar 1% tersebut dilakukan sebagai langkah politik pemerintah untuk meningkatkan penerimaan PPN dan memberikan rasa keadilan bagi sektor konsumen. Orang dengan kapasitas konsumsi tinggi dapat membayar lebih banyak pajak dan dengan demikian berkontribusi pada pemerataan ekonomi.
Kenaikan tarif disebabkan karena ingin mengejar momentum pertumbuhan ekonomi. Seperti yang kita ketahui perekonomian Indonesia pada tahun 2021 tumbuh sebesar 3,69% dibandingkan tahun sebelumnya. Juga pada 2022, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,2%.
Agar kenaikan tarif PPN terasa wajar di tengah pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen bukanlah langkah yang tepat, mengingat kondisi ini disertai dengan peningkatan sejumlah produk pokok. Peningkatan ini mempengaruhi barang-barang konsumsi kelas menengah.
Kenaikan tarif PPN juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kenaikan tarif PPN diyakini akan memperburuk daya beli masyarakat menengah ke bawah akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, yang dikhawatirkan akan semakin membebani pemulihan perdagangan dalam negeri untuk membantu pemulihan ekonomi Indonesia.
Namun, tidak semua barang dikenakan PPN. Berdasarkan UU HPP, jenis barang yang tidak dikenai PPN :
- Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, bistro, stand konsesi dan sejenisnya. Termasuk makanan dan minuman yang boleh atau tidak boleh dikonsumsi di tempat, termasuk makanan dan minuman yang disediakan oleh katering atau jasa boga, dengan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan pajak daerah otonom dan retribusi daerah. Biaya
- Uang dan emas Batangan sebagai kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga
- Jasa keagamaan
- Jasa kesenian dan hiburan
- Jasa perhotelan
- Kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu tanpa tambahan gula, buah-buahan, sayur-sayuran). Dan lain-lain.
Namun beberapa barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN diatas masih dikenakan pajak dan bea daerah. Meskipun begitu dampak kenaikan tarif PPN terhadap masyarakat diperkirakan terbatas. Hal ini dikarenakan pemerintah juga banyak memberikan keringanan PPN atas barang atau jasa tertentu.
Khususnya bagi masyarakat kelas bawah yang sebagian besar konsumsinya ditujukan untuk pembelian barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang tersebut memiliki keringanan PPN. Jadi kenaikan tarif PPN ini sebenarnya tidak mempengaruhi inflasi namun dirasa penetapan kenaikan PPN ini dirasa kurang tepat mengingat kondisi perekonomian saat ini. N