Lihat ke Halaman Asli

Ngopi Bareng Jesuit, Demokrasi di Indonesia Masih Bergantung kepada Siapa "Supirnya"

Diperbarui: 31 Maret 2019   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kiri: Rm. Frans Magnis Suseno SJ, Fr. Dionisius Amadea SJ, dan Rm. Setyo Wibowo, SJ

Pemilu makin dekat dan tinggal menghitung hari. Ada yang sudah menentukan pilihan untuk memilih Jokowi maupun Prabowo, bahkan memilih untuk golput. Lalu apa pandangan pada Jesuit terkait dengan memilih pemimpin?

Sabtu, 30 Maret 2019 digelar Sarasehan Ngopi Bareng Jesuit yang mengangkat tema "Memilih Pemimpin: Hak atau Kewajiban?"  di Sanggar Prathivi, Jakarta Pusat. Acara ini digelar oleh tim Promosi Panggilan Serikat Jesus (SJ) dan menghadirkan 2 orang narasumber yakni Rm. Frans Magnis Suseno, SJ dan Rm. Setyo Wibowo, SJ serta di moderatori oleh Fr. Dionisius Amadea SJ.

Beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan dengan pendapat Rm. Magnis soal sikap golongan putih atau golput. Menurutnya, pemilih golput memiliki tiga kemungkinan sifat yakni bodoh, berwatak benalu, atau secara mental tidak stabil (psycho-freak).

"Saya merasa saya keseleo memakai istilah itu. Sebetulnya saya tak mau menghina para golput, tapi saya terkesima oleh kerennya kalimat itu. Dan saya rasa itu kesalahan dan blunder yang besar. Tetapi pendapat saya mengenai golput tak berubah" kata Rm. Magnis.

Rm. Frans Magnis Suseno SJ saat menyampaikan paparannya

Mantan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menilai tindakan golput merupakan bentuk deligitmasi terhadap proses demokrasi yang saat ini berjalan di Indonesia. Dengan memutuskan menjadi golput, ia mengatakan sesorang sama artinya tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan Indonesia untuk lima tahun mendatang.

Ia sepakat bahwa dua calon yang tengah bersaing saat ini, Joko Widodo dan Prabowo Subianto memiliki kelemahan masing-masing. Namun setidak ideal apapun calon yang tersedia, tidak bisa dijadikan alasan untuk menjadi golput. "Kalau begitu, sekurang-kurangnya memastikan yang anda anggap paling buruk jangan terpilih. Dan itu logika internal yang kuat," ujar Rm. Magnis.

Dalam sarasehan ini, Rm. Setyo Wibowo coba mengangkat fenomena lain yakni abstentisme. Ini adalah situasi ketika orang abstain, tidak mau terlibat, dan tidak mau ikut-ikutan dengan berbagai macam alasan.

"Sebetulnya hal ini lebih karena tidak mau bertanggung jawab. Kepada teman-teman yang cenderung abstain ini, kami mengingatkan bahwa kebebasan yang kita miliki sekarang ini adalah hasil perjuangan panjang. Maka ini harus dijaga, dengan cara terlibat. Maka mari kita datang ke TPS, kita tunjukkan keterlibatan kita, concern kita, dan juga cinta kita kepada kebebasan dengan terlibat aktif di pemilu," jelas Rm. Setyo yang juga merupakan Kepala Program Studi Filsafat STF Driyarkara.

Rm. Setyo Wibowo SJ saat menyampaikan paparannya

Di lain sisi, Rm. Setyo coba memberikan perbandingan antara demokrasi yang terjadi di Indonesia dengan demokrasi di negara barat. Secara institusi demokrasi di Indonesia masih belum sekokoh di barat dan masih bergantung pada pemimpin yang kita pilih.

"Demokrasi Indonesia sudah memiliki banyak kemajuan, tetapi saya selalu membandingkan begini, demokrasi di barat itu sudah mantap ibarat mobil Mercy. Siapapun supirnya, contohnya di Amerika Serikat terpilih Trump, kalau mobil itu terbalik penumpangnya masih selamat. Tetapi demokrasi di Indonesia ini perumpaan saya seperti bajaj. Kita sangat bergantung pada supir, dan kalau supirnya tidak bagus, bajaj itu terjungkal, kita runyam semuanya," pungkasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline