Sebelum menjadi seorang Buddhis, saya merupakan seorang Kristen. Walaupun bukan seorang yang taat, gini-gini saya sudah beberapa kali menamatkan Alkitab. Ya, sebuah "kebanggaan" pada zamannya.
Namun, keputusan saya berpindah dari Kekristenan menuju kepada Buddhisme adalah sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa. Banyak pergumulan dan juga tantangan untuk bisa mencapai ketenangan yang saya inginkan. Terlebih, ada banyak hal yang sudah tidak bisa dicocokkan antara prinsip hidup saya dengan doktrin Kekristenan.
Namun, berpindah agama bukan berarti saya menjadi membenci Yesus. Hanya terjadi perubahan sudut pandang saja. Sebenarnya tidak banyak, karena sejak dahulu pun saya memandang Yesus dengan pemikiran yang hampir 11-12 dengan pemikiran saya sekarang. Malah, bisa dibilang dalam beberapa poin, saya malah jadi semakin mencintai Yesus.
1. Saya Melihat Yesus Sebagai Tokoh Kemanusiaan
Terlepas dari eksistensinya itu benar ada atau tidak, saya melihat kisah-kisah Yesus sebagai sebuah kisah kemanusiaan. Narasi yang menyebutkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang turun menjadi Manusia, sebenarnya sudah cukup untuk menggambarkan kemanusiaan Yesus. Narasi tersebut, terlepas dari dogma agama yang melatarbelakanginya, adalah sebuah narasi yang menyatakan bahwa dalam setiap manusia ada bibit-bibit ketuhanan.
Hal ini saya rasa dapat lebih bisa dimengerti kalau kita belajar soal Bodhicitta. Bahwa setiap orang, mungkin dan sangat mungkin untuk menjadi Buddha. Bibit ketuhanan selalu ada dalam diri setiap orang. Meskipun interpretasinya bisa jadi berbeda-beda.
2. Saya Melihat Yesus Sebagai Tokoh Kesetaraan
Coba lihat murid-murid Yesus. Lihatlah latar belakang mereka. Mulai dari seorang pemungut cukai yang dibenci oleh masyarakat, nelayan yang hidupnya tidak kaya-kaya amat, sampai seorang bendahara curang yang ujung-ujungnya menggantung dirinya karena rasa bersalah.
Dengan kata lain, Yesus tidak membeda-bedakan siapapun muridnya. Entah apapun latar belakangmu, apapun masa lalumu, selama kamu berjalan dengan nilai-nilai yang sama denganku, kamu adalah muridku. Kira-kira begitulah prinsip kesetaraan yang bisa saya tangkap dari Yesus. Hal ini juga sebenarnya terjadi pada agama lain. Nabi Muhammad dengan sahabat-sahabatnya, Buddha dengan murid-muridnya, dan yang lainnya.
3. Saya Melihat Yesus Sebagai Tokoh Reformator
Yesus itu adalah seorang reformator. Pemikirannya kritis, terbuka, dan selalu ingin mengevaluasi hal-hal yang menurutnya salah dalam tradisi bangsanya. Maka menjadi ironi, kalau banyak umat Kristen di zaman sekarang yang malah berpikiran tertutup dan kolot. Padahal Yesus sangat membenci kekolotan berpikir.
Seperti yang terjadi dengan pasar kurban di Bait Allah. Yesus bubarkan karena pemikiran kolot itu salah dan bengkok logikanya. Mana bisa pasar dan Rumah Ibadah disatukan. Kira-kira poin itulah yang Yesus coba sadarkan.
Akan tetapi, bukan cuma itu. Banyak hal-hal lain yang Yesus ubah, dan hal ini menjadi inspirasi bagi saya untuk semakin meneladani hal-hal baik dan menjadi peka terhadap hal-hal yang kolot di sekeliling saya.
Epilog
Sebenarnya masih banyak yang saya teladani soal Yesus. Bukan hanya Yesus, Nabi Muhammad SAW, Guru Nanak, dan banyak tokoh-tokoh agama lainnya yang juga saya teladani. Terlebih lagi jika teringat memori tentang beberapa pengajaran Yesus yang masih relevan dalam kehidupan modern ini.