Setiap orang memiliki sisi masa lalu yang kelam, begitupun saya. Mungkin hal ini seharusnya menjadi privasi yang saya simpan dan telan sendiri.
Akan tetapi, saya memberanikan diri untuk speak-up sekaligus memberikan sedikit pandangan mengenai cancel culture yang pernah saya alami bahkan hingga saat ini.
Semuanya terjadi ketika saya berada di SMA, di kelas 11 semester 2 tepatnya. Kehidupan saya yang bahagia bersama kawan saya yang kala itu menjadi HTS saya (partner romantis tanpa status) secara tiba-tiba kandas karena beberapa permasalahan.
Di antaranya adalah kegagalan saya untuk mencegah sahabat saya kabur dari sekolah dan mendapatkan DO serta keinginan saya untuk berpindah agama karena saya merasakan ketidaknyamanan di agama lama saya kala itu.
Seharusnya hal itu adalah hal yang cukup saya jalani sendiri, akan tetapi, puluhan orang lainnya di kelas, bahkan di luar kelas melakukan cancel culture karena saya dianggap telah "menyimpang".
Ditambah, agama yang saya pilih, dan menjadi agama saya sekarang adalah agama yang sama dengan HTS saya kala itu.
HTS saya yang tadinya mendukung pun mendapatkan tekanan karena orang berpikir, "Ada ya anak SMA yang mau berpindah agama hanya karena wanita yang belum tentu menjadi pasangan hidupnya?!".
Padahal hal tersebut adalah salah adanya. Saya berpindah murni karena keinginan saya sendiri untuk mencari kedamaian.
Cancel culture tersebut terus berlanjut hingga ke puncaknya saat saya berada di kelas 12 SMA. Saya yang semakin tenggelam dalam stress dan pikiran yang buruk serta semakin tenggelam dalam hubungan saya yang semakin runyam dengan HTS pun mulai kehilangan kontrol atas diri.
Beberapa teman-teman yang berada lebih "dekat" dengan saya pun selalu berusaha menahan saya untuk tidak melakukan hal-hal yang aneh. Saya awalnya bisa mengontrol, akan tetapi, semakin saya di-cancel, semakin hancurlah hidup saya.
Puncaknya adalah beberapa minggu sebelum sekolah diliburkan, saya pun terlibat kasus dengan HTS saya kala itu. Kami bertengkar hebat dan pada akhirnya saling melakukan abuse.