Lihat ke Halaman Asli

"Susah Sinyal": Perbedaan Bukanlah Penghambat dalam Kehidupan

Diperbarui: 25 November 2020   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: https://hot.detik.com/movie/d-3781880/drama-ibu-anak-nan-menyentuh-di-susah-sinyal

Kita sudah tidak asing lagi mengenai ekonomi politik komunikasi yang dikemukakan oleh Vincent Mosco yang terdiri dari komodifikasi, spasialisasi, serta strukturasi. Kali ini akan membahas mengenai strukturasi melalui sebuah film Susah Sinyal (2017).

Film ketiga dari Ernest Prakasa ini rilis di bioskop pada 28 Desember 2017. Film tersebut menceritakan mengenai hubungan ibu dan anak yang diperankan oleh Adinia Wirasti, Aurora Ribero, Ge Pamungkas, Arie Kriting, Gading Marten, dan Gisella Anastasia.

Strukturasi menurut Vincent Mosco adalah adanya hubungan sosial antara kelas, gender, jenis kelamin, serta ras.

Dalam Susah Sinyal, strukturasi dapat dilihat dari beberapa adegan antara lain, saat pesta perpisahan di kantor yang diperuntukkan oleh Ellen karena keluar dari pekerjaannya. Ternyata pesta tersebut diperuntukkan karyawan yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun. Namun, Iwan belum genap 5 tahun dan protes kepada atasannya. Karena perilaku atasannya, Iwan berkata, "Gue yang China, dia yang perhitungan"

Dalam adegan tersebut adanya perbedaan ras. Ras Chinese identik dengan adanya hitungan, termasuk dalam segi keuangan dan memiliki ciri khas, berdagang. Hal tersebut juga dapat dilihat bahwa Ibu Iwan memiliki toko bangunan dan memiliki pegawai yang berbeda ras.

sumber: https://cinemaniaindonesia.wordpress.com/2017/12/21/what-we-say-susah-sinyal/

Penggambaran strukturasi lainnya ada dalam adegan saat Ngatno, asisten rumah tangga Ellen yang mendapat tawaran untuk membantu di kantor Ellen. Iwan datang ke kantor dengan pakaian seadanya, kaos berkerah dan celana panjang, serta melakukan pekerjaan rumah seperti penjaga kebun. Berbeda dengan Iwan dan Ellen yang menggunakan pakaian rapi layaknya pekerja kantoran dan seorang bos. Hal tersebut terlihat bahwa Ngatno merupakan kelas bawah dan Iwan, Ellen merupakan orang kelas atas.

Terlihat jelas dalam film tersebut bahwa Ngatno menggunakan handphone yang tidak bermerk, sedangkan Ellen, dan Iwan menggunakan produk terkenal, Apple. Adanya perbedaan kelas dalam hal tersebut. Ngatno merupakan kelas bawah karena tidak memiliki produk yang sama dengan Ellen dari pekerjaannya sebagai tukang kebun. Sedangkan Ellen merupakan orang kelas atas yang mampu membeli barang bermerk hasil dari pekerjaannya sebagai pengacara terkenal.

Selain itu, dalam film yang disutradai oleh Ernest Prakasa ini memiliki perbedaan kelas dalam dunia Pendidikan. Disebutkan dalam adegan lanjutan saat Ngatno diberi tawaran pekerjaan di kantor Ellen. Ngatno mengatakan, "saya sudah bangga menjadi kepala divisi agrikultur, mbak", namun di rumah Ellen hanya ada kebun, bukanlah sawah. Dilihat dari situ bahwa Pendidikan yang didapat Ngatno tidak tinggi sehingga tidak mengerti mengenai hal seperti itu. Berbeda dengan Ellen yang mampu menjelaskan bahwa agrikultur itu sawah, dibuktikan dari Ellen yang mengatakan, "agrikultur itu pertanian, di rumah saya kan ngga ada sawah".

sumber: https://www.youtube.com/watch?v=qzidoxHTrfo

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline