Mengikuti Aksi Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2018 kemarin memberikan kesan tersendiri bagi diri saya. Orasi-orasi dari berbagai komunitas dan sayap-sayap perjuangan buruh, mahasiswa, dan aktivis menghiasi jalan yang terhampar di depan Gedung Sate, Kota Bandung.
Berbagai tuntutan jaminan seperti yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan kerja, buruh perempuan, hingga upah yang layak dan harga kebutuhan pokok termasuk kabar tenaga kerja asing yang meresahkan bergaung sepanjang hari libur yang menghimpit hari Senin menjadi "Libur Kejepit". Sampai suatu ketika ada sebuah orasi yang mengajak mahasiswa bersatu dengan menyebutkan bahwa mahasiswa juga adalah calon buruh.
Mendengar ucapan itu, saya justru teringat pada suatu pengalaman ketika saya tengah menjalani masa "kerja praktek" (istilah kampus, seharusnya praktik) di suatu perusahaan manufaktur ternama di Purwakarta.
Di tempat itu, saya diharuskan menggunakan seragam perusahaan, mematuhi jam kerja mereka (masuk pukul 8.00 WIB dan pulang pulul 17.00 WIB, hingga makan siang ketika sudah mendengar bel istirahat makan siang (atau paling tidak, ketika waktunya sudah mendekati jam makan siang).
Secara garis besar memang seperti itulah dunia kerja bukan? Sama juga halnya dengan apa yang saya amati dari kehidupan para buruh di dalam pabrik itu. Datang tepat waktu, bekerja, dan bel istirahat. Lalu para supervisor akan sibuk mengecek standar dari hasil akhir produk yang mereka buat, jika bagus akan langsung dikirim ke bagian selanjutnya, jika cacat sedikit akan di-rework (diperbaiki), lalu jika buruk akan di-scrap (dibuang).
Saya pikir pengalaman serupa tentu pernah saya atau kita alami juga selama duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah. Terutama mengenai betapa suatu aktivitas yang sedari dini dibiasakan untuk menyerupai aktivitas mekanistis seperti yang saya saksikan di pabrik yang saya kunjungi libur semester 2017 silam.
Ciri-ciri seperti siswa menggunakan seragam yang sama antara satu dengan yang lain, bel menjadi penanda ketika sudah waktunya istirahat atau pulang, harus fokus mengikuti pelajaran tanpa banyak bersenda-gurau, hingga berusaha keras memenuhi "standar" pendidikan. Lalu jika tidak memenuhi "standar", kita tentu tahu apa yang akan terjadi akibatnya yaitu dinyatakan gagal bahkan kalau perlu dicampakan ke dalam hukuman terberat seorang siswa "Tinggal Kelas".
Di luar beberapa kesamaan kasat mata tersebut, penggunaan kata "Standar" diulas dalam sebuah artikel di rubrik Bahasa dalam Majalah TEMPO Edisi 23-29 April 2018. Menurut artikel yang ditulis oleh Rahmat Petuguran, kata "standar" atau yang serupa dengannya seperti "kompetensi", "supervisi", dan "sertifikasi" hanya lazim digunakan dalam dunia korporasi karena paradigma yang digunakan adalah institusi bisnis berorientasi keuntungan finansial.
Namun, kata-kata yang sebelumnya hanya cocok diungkapkan ketika mendapati panci yang peot, menjadi semakin lazim di dunia pendidikan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015.
Selain itu, penulis yang juga merupakan Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang menuturkan bahwa penggunaan bahasa layak menjadi perhatian utama karena merupakan ekspresi ideologis penuturnya. Sementara menurut studi wacana kritis yang ia pahami, ideologi sendiri merupakan ojbek strategis karena menggambarkan kekuasaan dan kepentingan.
Di luar manfaat baik yang ditawarkan atau diagung-agungkan oleh para pemangku kepentingan dan kebijakan dalam dunia pendidikan, kita perlu mewawas diri dalam konsep yang ditawarkan akhir-akhir ini. Saya tentu tidak bermaksud mengkerdilkan atau mendiskreditkan jerih payah dan jasa para guru. Namun, yang ingin saya permasalahkan adalah konsepsi yang bersembunyi dan diam-diam dibangun dan membentuk kira dibalik simbol-simbol tersebut.