Lihat ke Halaman Asli

Kopi Maut Mirna Disidang, Genosida PKI Ditendang

Diperbarui: 23 Juli 2016   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi Parade September Hitam oleh Kamisan Bandung pada Sabtu, 28-9-2015. Dok. Pribadi

Rabu 20 Juli lalu, media massa di Indonesia tengah sibuk-sibuknya memberitakan sebuah kasus yang disebut-sebut “Kopi maut”. Maut karena orang yang meminumnya segera merenggut nyawa. Tidak hanya itu, media massa sekaliber Kompas pun menyiarkan sidang itu live di layar kaca.

Bertepatan dengan pemberitaan kasus tersebut yang begitu hebat, di tanggal yang sama suatu laporan bertajuk “Ringkasan Temuan dan Rekomendasi Sidang IPT 1965” berikut putusan akhir sidang IPT 1965 dikeluarkan. IPT 1965 sendiri merupakan singkatan dari International People Tribunal yang dibentuk dengan tujuan memperbaiki sejarah yang telah lama dipelintir hingga disepelekan terkait kejahatan pasca 30 September 1965.

Akan tetapi, dua hal di atas memiliki kesamaan. Keduanya menyangkut sidang untuk menggugat kematian seseorang. Hanya perbedaan yang menarik ketika yang tengah diberitakan dengan penuh semangat oleh media massa adalah dugaan pembunuhan di sebuah restoran mewah di sebuah mall berkelas di Jakarta. Sedangkan yang satu lagi merupakan dugaan pembunuhan massal di berbagai wilayah Indonesia di tanah-tanah tanpa nama dan jauh dari perhatian publik.

Belum lagi yang satunya lagi cukup tergolong usang sebab sudah 1965 silam sedangkan yang satunya masih fresh. Bahkan,tanpa bermaksud menyepelekan terdapat perlakuan hukum yang berbeda pula dari dua kasus tersebut. Ketika kasus yang melibatkan mall mewah dan kelas menengah, dugaan pembunuhan itu segera mencuri perhatian publik dan aparat penegak hukum. Dalam hitungan bulan berkas-berkas rekonstruksi, pemeriksaan, hingga bukti rekaman segera dibereskan.

Jika dilihat perlakuan hukum terhadap kasus yang sudah jauh tertinggal sejak 1965 itu, kasus yang ini cukup lelet. Tidak hanya karena terjadi di luar daerah urban milik kelas menengah, kasus ini justru terkesan dihambat bahkan disengajakan untuk molor penyelesaiannya. Bahkan, ketika Komnas HAM, KontraS, dan aksi Kamisan di depan istana negara telah mengingatkan pemerintah berulang kali, kala berganti bokong di kursi panas istana negara terus berganti, kasus itu belum juga digubris.

Meskipun demikian, apa yang terjadi pada 1965 silam itu jelas bukan hal yang bisa disepelekan. Dalam ringkasan temuan sidang IPT 1965 yang dimuat di laman situs Tribunal 65 pun, mengungkapkan bahwa hal ini lebih dari sekadar genosida. Terdapat 9 kejahatan lainnya yang juga terjadi pada peristiwa 1965 itu. Diantaranya, pembunuhan (perkiraan 400.000 – 500.000 orang, sumber lain menurut Sarwo Edhi – Komandan RPKAD berjumlah 3 juta orang ), hukuman penjara, perbudakan, penyiksaan, penghilangan secara paksa,  kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, hingga keterlibatan negara lain.

Selain itu, terdapat hal menarik lain yang perlu kita cermati. Jika pada kasus dugaan kopi maut, pelaku yang diduga adalah teman dekat, pada kasus yang kedua, pelakunya justru adalah negara. Tepatnya negara di kala waktu 1965 itu telah direbut dari tangan presiden pertama Ir. Soekarno dan tengah aktif melakukan “pembersihan” lawan-lawan politiknya. Tepatnya lagi lawan-lawan politik yang kala itu kalah dalam pertarungan politik antara Militer dan PKI.

Tidak hanya itu, dalam proses pembersihannya pun tidak hanya yang ditujukan pada mereka yang memang PKI. Mereka yang bukan tetapi dituduh PKI atau di-PKI-kan pun juga ikut disikat habis. Dibersihkan dan disikat tentu bukan dengan sikat dan larutan pembersih lantai dengan wangi ala aromatic spa, melainkan dengan pertumpahan darah.

Bukan main pertumpahan darah yang terjadi waktu itu. Jika kita mau melihat film yang pernah dipublikasikan oleh Joshua Oppenheimer, sang sutradara dokumenter yang sedang tidak bisa kembali ke Indonesia itu, sejumlah pelaku dan penyintas yang ditemui sanggup menggambarkan apa yang pernah terjadi. Tanpa bermaksud lebay dan hiperbolis, beberapa kosakata seperti kejam, sadis, dan haus darah bisa jadi tepat dalam menggambarkan proses pembantaian yang terjadi.

Belum berhenti sampai di sana, perkembangan selanjutnya, selama sekitar 3 dekade lebih, negara melalui propagandanya terbukti telah aktif mencuci otak masyarakat dengan kengerian terhadap pembunuhan 7 jenderal di lubang buaya. Tujuannya tidak lain untuk menanamkan kebencian terhadap PKI dan ideologi komunis sekaligus sebagai penerbitan “lisensi” bahwa pembunuhan massal itu adalah aksi heroik para pelakunya serta tidak melanggar hukum maupun nilai kemanusiaan.

Namun, kebencian itu justru malah meluas hingga mereka para penyintas dan keturunannya turut dicabut hak-haknya sebagai warga negara. Tidak sedikit yang harus kehilangan mata pencaharian, keluarga terlantar, atau pun harus menyaksikan orang-orang yang dicintai meregang nyawa tanpa memperoleh keadlian. Meskipun selanjutnya pelakunya berasal dari tingkat lokal, negara turut berperan dalam pembiaran serta penanaman kebencian melalui propaganda dan pelintiran sejarah yang kini merasuki buku-buku sejarah anak-anak sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline