Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Pendidikan Gratis SMA Negeri

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kebijakan wajib belajar dua belas tahun ibukota DKI Jakarta menunjukkan pemerintah semakin memperhatikan murid sekolah negeri ibukota. Namun, kebijakan ini masih jauh dari sempurna. Sebenarnya, maksud serta tujuan kebijakan ini sudah baik dan hanya bopeng dalam praktik lapangan.

Bukan sulap bukan sihir, praktik lapangan kebijakan ini di ibukota lebih mirip kapitalisme. Bahkan, kebijakan ini semakin mematangkan dampak dari kapitalisme yaitu yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Di tambah lagi, hal ini semakin kontras di sekolah SMA negeri favorit, sebab posisinya sangat strategis untuk  jalur undangan universitas negeri favorit. Nah, bayangkan siapa yang tidak mau masuk universitas negeri favorit?

Permasalahannya cukup mendasar, yaitu kesempatan yang sama. Salah satu siswa SMAN Jakarta inisial T T mengatakan bahwa pendaftaran dilakukan secara online dan ditentukan dari nilai Ujian Nasional (UN) yang diperingkatkan. Begitu juga dengan rata-rata nilai masuk SMA negeri Jakarta berkisar pada angka sembilan untuk SMAN “favorit” dan angka tujuh untuk SMAN “pinggiran”.

Lalu apa kaitannya dengan kapitalisme? Untuk mencapai nilai UN rata-rata sembilan, bagi sebagian besar murid memerlukan bantuan guru bimbel mata pelajaran, baik guru rumahan maupun franchise. Namun, mengingat biaya bimbel mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, hal ini jelas terbatas bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Hal ini memang tidak berlaku bagi murid yang nilai akademisnya sudah mantap. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa murid yang sudah mantap pun masih mengikuti bimbel. Hasilnya, mereka yang memiliki biaya untuk mengikuti bimbel akan dengan mudah mencapai nilai sembilan dalam UN dan masuk saringan SMAN favorit.

Sejalan dengan permasalahan bimbel, gagasan Paulo Freire tentang pendidikan “gaya bank” membuka sisi bopeng lain. Isi gagasan itu adalah “guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.” (Freire, 1985:50).

Perlu diketahui bahwa mayoritas guru saat ini masih menerapkan konsep gaya bank tersebut atau dapat disebut masih konservatif. Gurulah yang paling tahu dan murid datang, duduk, dan diajar selayaknya orang yang bodoh. Sudah jelas hal inilah yang menyebabkan murid bermalas-malasan, tidak memperhatikan guru, dan lebih buruk lagi mematikan keingintahuan.

Konsep ini sudah ada hampir di semua sekolah tidak perduli sekolah swasta maupun negeri. Pada sekolah-sekolah SMA negeri favorit maupun pinggiran serta swasta, bagi murid yang mengikuti bimbel, konsep gaya bank tidak menjadi masalah besar. Toh, pulang sekolah bisa tanya guru bimbel dan diajari sampai ngerti. Bahkan, kalau mau ulangan, gurunya bisa  sediakan soal tahun lalu pula.

Lain halnya dengan mereka yang kurang mampu membayar bimbel. Nasib mereka bergantung pada guru di sekolah untuk mengerti bahan pelajaran apalagi bahan UN. Masih untung kalau ada teman yang menonjol di kelas, mereka bisa belajar bersama. Akan tetapi, kalau tidak ada yang menonjol serta didukung lingkungan sesama murid yang juga “kurang”, bisa kasihan mereka di ujian nanti.

Perlu kita ketahui juga, gelar favorit diperoleh dari input dan output sekolah tersebut. Input seperti penyaringan yang ketat sedang output seperti hasil kelulusan dan rata-rata nilai UN sekolahnya. Murid berinisal T T juga mengatakan di sekolah negeri favoritnya, guru mengharuskan muridnya untuk mengikuti bimbel. Hal tersebut mungkin ada kaitannya dengan output.

Selain masalah bimbel, bagi murid yang tidak diterima di SMAN favorit, dapat dipastikan segera mendaftar ke SMAN pinggiran atau mungkin sekolah swasta terdekat. Itu pun kalau ada, kalau terpaksa memilih yang jauh, mereka harus merogoh uang lagi untuk biaya transport ke sekolah.

Hal lain yang tidak kalah buruknya, mereka terpaksa mendaftar di sekolah swasta yang sudah pasti uang sekolah tidak gratis dan mungkin hanya mendapat pengurangan. Itu pun kalau pihak sekolah menyetujui pengurangan tersebut. Sudah dalam keadaan kekurangan masih harus mengeluarkan biaya lagi dan lagi jika murid tersebut “kurang” di sekolah maka harus membayar les bimbel. Namun, bagi murid dari kelas menengah ke atas yang masuk SMAN favorit tidak perlu membayar uang sekolah.

Sejalan dengan permasalahan di atas, murid yang berasal dari kelas menegah ke atas bisa dengan leluasa pergi ke SMAN favorit yang jauh karena punya mobil pribadi. Misalnya, murid yang rumahnya di Bekasi pergi ke salah satu sekolah favorit di Jakarta Timur. Secara tidak langsung, kuota siswa baru yang masih tersedia, berkurang drastis. Murid yang berdomisili di dekat sekolah itu terlebih lagi yang kurang secara akademis dan ekonomi bisa kalah bersaing.

Marilah kita kembali kepada identitas demokrasi kita yaitu semua orang mendapat kesempatan yang sama terutama dalam bidang pendidikan. Para murid yang menjadi sasaran program wajib belajar dua belas tahun patut mendapat kesempatan yang merata. Entah kelas menengah entah kelas ke bawah. Jarang sekali ditemukan anak tukang gorengan bisa bersekolah berdampingan dengan anak pengusaha.

Demikian pula kita harus mewaspadai praktik kapitalisme ini. Seperti yang telah disebutkan, anak kelas menengah bisa masuk sekolah negeri favorit, bisa diantar naik mobil pribadi, dan bisa mengikuti bimbel dengan mudah sedangkan anak dari kelas menengah ke bawah harus membayar di sekolah swasta atau harus bersekolah di sekolah negeri pinggiran karena tidak lolos saringan, sulit mendapat kesempatan masuk bimbel kalau pun bisa biayanya cukup membebankan terutama bagi murid sekolah swasta, dan masih harus membayar uang transport. Inilah yang dimaksud yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

Sebenarnya, program ini sangatlah baik dan terbukti memberi kesempatan bersekolah bagi anak yang kurang mampu. Namun, anak kurang mampu harus memperoleh prioritas kuota di SMA negeri baik “pinggiran” maupun “favorit”. Perkiraannya 70% untuk anak kurang mampu dan 30% untuk luar Jakarta dan kelas menengah serta menengah ke atas. Lalu perlu diingat bahwa anak dari keluarga mampu dijamin UUD untuk mendapat pendidikan yang layak dan bermutu.

Selain itu, pemerataan kualitas sekolah negeri dan sekolah swasta perlu dilakukan agar jangan terjadi kebiasaan “rewel” memilih sekolah. Di samping itu, pendidikan “gaya bank” ini perlu diawasi dan didampingi agar mutu pendidikan baik negeri maupun swasta menjadi semakin baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengembangan kualitas tenaga pengajar yang benar-benar profesional bukannya profesi-mencari makan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline