Lihat ke Halaman Asli

Berpikir Ala Pelayan

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia modern mendefinisikan  kebesaran dari segi kekuasaan, kepemilikan, martabat, dan kedudukan. Jika kita berhasil menjadi boss dan menuntut agar orang lain melayani kita, maka kita telah berhasil. Ketika lulus kuliah, kebanyakan dari kita akan menaruh sebuah fokus untuk mengejar penghasilan dan kedudukan tertinggi.

Marilah berhenti sejenak dan jawablah pertanyaan berikut ! Apa hal yang Anda inginkan atau dambakan dalam hidup ini? Apakah seperti hal-hal yang disebutkan di atas? Jika ya, itu sudah  menjadi hal lumrah, semua orang menginginkannya. Kehidupan seperti itu kurang lebih dapat disebut sebagai kehidupan tipe pencapai. Waktu dan tenaga dikerahkan serta keringat bercucuran untuk membangun menara keberhasilan setinggi-tingginya. Di tambah lagi, sedari muda sudah merencanakan pensiun dan menikmati hidup.

Dalam kebudayaan kita yang serba mengedepankan mentalitas aku-dahulu, memang sulit menemukan sosok pelayan. Ingat sosok loh ya, bukan pelayan seperti di restoran.  Jelas jarang sekali seseorang ingin menjadi pelayan dan kelihatan seperti pelayan. Orang-orang cenderung ingin dilayani.

Tahukah Anda, bahwa untuk menentukan kebesaran Anda hanya dengan cara melayani? Mahatma Gandhi pernah berkata, “The best way to find  yourself  is to lose yourself in the service of others.” Agak membingungkan ya? Namun, memang inilah satu-satunya cara untuk mengejar sebuah kebesaran. Bukan kebesaran dalam kekuasaan, melainkan KEBESARAN JIWA.

Ribuan buku telah ditulis tentang bagaimana mempengaruhi orang lain, membuat orang lain mengikuti kita, menjadi pemimpin, dan menjadi orang sukses. Namun, sedikit atau hampir tidak ada buku yang mengajarkan bagaimana melayani. Sebuah anggapan sederhana dan perlu diingat baik bahwa orang yang berjiwa besar adalah orang yang melayani.

Selain itu, bila Anda ingin memaknai hidup, lakukanlah seperti yang Mahatma Gandhi katakan yaitu, lose yourself in the service of others. Artinya, makna hidup ditemukan saat melayani orang lain. Di samping itu, mereka didorong oleh keinginan untuk tidak lagi sepenuhnya memakai waktu untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain.

Seperti yang dikatakan oleh Bunda Teresa, “At the end of life we will not be judged by how many diplomas we have received, how much money we have made, how many great things we have done. We will be judged by "I was hungry, and you gave me something to eat, I was naked and you clothed me. I was homeless, and you took me in.” Jadi, ini hanya soal pilihan, akankah hidup kita berakhir sebagai orang sukses yang egois atau orang biasa yang berjiwa besar melayani orang?

Ada beberapa cara untuk menjalani hidup dengan melayani orang lain. Pertama, mulailah dengan melihat tugas-tugas kecil, sederhana, dan tidak terpandang ! Kita tidak harus memiliki keahlian-keahlian menabjubkan  untuk tugas-tugas yang berat sehingga dipandang orang, melainkan kita melakukannya karena tidak ada yang peduli.

Selanjutnya, buanglah anggapan bahwa kita tidak cukup baik untuk mengerjakan sesuatu! Kita ada bukan karena pendapat orang lain, melainkan kita ada karena sebuah keyakinan untuk memaknai hidup ini. Mungkin ada beberapa hal yang kita tidak mampu lakukan, tetapi setidaknya kita mampu untuk belajar melakukannya.

Setiap bangun pagi, selalu siap sedia untuk ada bagi kebutuhan orang lain. Sebab, itulah inti dari melayani orang lain. Walaupun demikian, bukan berarti orang lain bebas memanggil kita seperti, “waiter!” Tentu saja tidak seperti itu, lebih tepatnya kita selalu siap sedia di mana pun kita diperlukan.

Prinsip orang yang melayani yang sejati adalah tutup mata, tutup telinga, dan tutup mulut. Apa artinya? Pertama, tutup mata artinya ketika melayani orang tidak pilih-pilih, tidak lihat suku, agama, ras, warna kulit, dan budi baiknya serta tidak lihat imbalan.

Kedua, tutup telinga artinya ketika melayani tidak harapkan pujian. Ketiga, tutup mulut artinya setelah melayani tidak umbar-umbar ke orang lain. Biarlah kita nyaman di dalam bayang-bayang. Ingat ! Akhir perjuangan kita bukan menjadi selebriti, melainkan memaknai hidup ini.

Sekilas Anda telah mengetahui seperti apa orang yang melayani itu. Perlu Anda ketahui bahwa perlombaan menjadi pemimpin memang banyak, bahkan orang-orang berdesak-desakkan. Namun, kesempatan melayani orang lain terbuka luas. Hidup untuk melayani orang tidak ada pensiunnya karena melayani bukan karier, tetapi perjalanan hidup seseorang yang berhati besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline