[caption caption="https://upload.wikimedia.org"][/caption]Kelanggengan sebuah perusahaan salah satunya akan bergantung dari bagaimana manajemen terhadap berbagai kebijakan dapat dibuat dan dilaksanakan secara baik. Namun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh perusahaan, rentan beresiko mengalami krisis apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan isu lingkungan. Berbagai benturan akan terjadi karena isu lingkungan melekat dengan banyak kepentingan yang melibatkan pemerintah, berbagai macam organisasi, LSM, masyarakat dan tentu perusahaan itu sendiri. Strategi komunikasi yang terjalin baik antara sema pihak, menjadi salah satu cara untuk menangani krisis yang terjadi. Penanganan krisis yang tidak dipikirkan secara matang, apalagi dengan komunikasi yang asal-asalan, akan menghantar sebuah perusahaan pada titik kerugian dalam berbagai segi. Kasus penenggelaman Brent Spar menjadi salah satu bukti nyata betapa sebuah kebijakan yang tidak terorganisir dengan baik, akan menghasilkan benefit yang tidak baik pula, begitu juga sebaliknya.
Kontroversi berawal pada tahun 1994, ketika dua perusahaan raksasa dalam bidang perminyakan, Shell dan Exxon mengalami masalah tentang pembuangan pelampung yang seyogyanya digunakan sebagai tempat penyimpan minyak (buoy) bernama Brent Spar. Dua perusahaan besar tersebut berusaha untuk mempertimbangkan dampak pembuangan Brent Spar yang sudah tidak digunakan selama lima tahun. Shell kemudian mengadakan tiga puluh riset terpisah untuk mempertimbangkan segala resiko pembuangan, baik dari segi teknis, keamanan dan lingkungan (Löfstedt & Renn, 1997). Dari tiga puluh riset tersebut, dihasilkan empat pilihan yang dapat ditempuh untuk membuang Brent Spar, yakni:
1. Pembuangan di darat
2. Mengenggelamkan pelampung di lokasi Brent Spar berada
3. Dekomposisi pelampung di tempat itu juga
4. Penenggelaman di laut dalam, di perairan Inggris Raya
Opsi kemudian jatuh pada cara keempat, dengan pertimbangan terkait biaya yang relatif terjangkau, serta dampak terhadap lingkungan yang relatif rendah. Keputusan ini disetujui oleh pemerintah Inggris sebagai Best Practicable Environmental Option (BPEO) atau keputusan lingkungan yang paling mungkin dilakukan. Pemerintah Inggris menerima keputusan ini dan memberi tahu negara-negara lain yang berada di kawasan Eropa mengenai hak ini, sesuai dengan ketetapan yang dikeluarkan oleh Konvensi Oslo-Paris yang berbicara tentang lingkungan kelautan. Setiap negara diberikan tenggang waktu 60 hari dari pemberitahuan, dan dari waktu yang diberikan tersebut, tidak ada satu pun negara yang menyatakan keberatan, sehingga izin pun diluncurkan. Namun, sebelum izin ini terbit, aksi keberatan terhadap pembuangan Brent Spar ini dilontarkan oleh Greenpeace sebagai salah satu organisasi yang memperjuangkan kelestarian lingkungan (Löfstedt & Renn, 1997).
Kontroversi mulai mencuat dan permasalahan ini menjadi agenda utama media. Media ‘menembak’ masyarakat dengan gambar aktivis Greenpeace yang disembur oleh water cannons kapal penarik milik Shell. Kementrian Lingkungan dan Agrikultur Jerman pun kemudian menolak keputusan ini dan menyatakan bahwa langkah pembuangan Brent Spar tersebut bukan menjadi opsi yang tepat dan perlu dipertimbangkan lagi. Protes yang dilayangkan oleh pemerintah Jerman ditolak mentah-mentah oleh Inggris dengan alasan bahwa tenggang waktu penolakan terhadap pembuangan Brent Spar telah melewati batas (Löfstedt & Renn, 1997).
Gejolak penolakan terhadap pembuangan Brent Spar semakin menjadi-jadi. Kampanye-kampanye melawan keputusan Shell semakin marak, termasuk dengan mengumpulkan tanda tangan para politisi dan aksi boikot terhadap stasiun pengisian bahan bakar milik Shell. Aksi-aksi ini dimobilisasi oleh aktivis Greenpeace. Aksi penolakan yang dilakukan oleh para aktivis Greenpeace terhadap pembuangan Brent Spar dilandasi oleh klaim bahwa Shell tidak melaporkan kandungan Brent Spar yang ternyata di dalamnya terdapat banyak senyawa kimiawi beracun (Löfstedt & Renn, 1997). Semakin hari, pendukung Shell U.K. terus menurun, bahkan terus ditekan oleh Shell Jerman dan Belanda walau pemerintah Inggris telah meyakinkan negara-negara Eropa lain terkait keputusan pembuangan Brent Spar merupakan hal yang terbaik. Namun, hal-hal yang dilontarkan oleh pemerintah Inggris mengenai Brent Spar sama sekali tidak mendapat perhatian banyak orang. Aksi penolakan terhadap Shell justru terus bergejolak, hingga pengerusakan, boikot serta serangan keras terhadap stasiun bahan bakar Shell terus terjadi. Berbagai cara ditempuh untuk menolak keputusan Shell, termasuk dengan melayangkan surat keluhan. Sampai pada saat itu, lebih dari 11.000 surat keluhan dikirimkan kepada pihak Shell (Löfstedt & Renn, 1997).
Aksi mencengangkan terjadi ketika Brent Spar akan ditenggelamkan. Beberapa jam sebelum penampung minyak tersebut akan dimusnahkan, Shell akhirnya menyerah dengan keadaan dan membatalkan keputusan tersebut. Greenpeace sebagai organisasi yang dari awal gencar melakukan aksi penolakan, mengapresiasi keputusan Shell dan akan menggandeng Shell untuk mencari solusi lingkungan yang dapat dilakukan. Namun, kejadian ini menggugah amarah pemerintah Inggris yang merasa dikhianati dan diperlakukan tidak adil oleh negara-negara Eropa lain (Löfstedt & Renn, 1997).
Shell pun kemudian berusaha mempercepat langkahnya untuk memperbaiki keadaan dengan memasang iklan satu halaman penuh yang menjelaskan bahwa keputusan yang telah mereka perbuat merupakan keputusan yang keliru, meski secara teknis dan lingkungan hal tersebut benar. Shell juga meminta Det Norske Veritas untuk menginvestigasi tuduhan Greenpeace terkait dengan klaim yang dikemukakan bahwa tangki penyimpanan masih berisi 5000 ton minyak mentah. Greenpeace kemudian mengakui kekeliruan terkait kuantitas minyak dalam tangki, namun tetap menyatakan bahwa keputusan penenggelaman tersebut salah. Penelitian lanjutan yang dilakukan juga kemudian tetap menunjukkan hasil bahwa penenggelaman Brent Spar di laut tidak memiliki resiko dan dampak signifikan terhadap lingkungan, dibanding membuangnya di darat. Pembuangan di laut menjadi salah satu langkah yang tepat karena pencemaran yang dihasilkan pun relatif kecil meski terdapat beberapa ketakutan akan munculnya kontaminasi lingkungan lokal di laut dalam (Löfstedt & Renn, 1997).