Lihat ke Halaman Asli

Vincensia Prima P.

Menulis adalah media katarsis terbaik

What Goes Around, Comes Back Around: Sebuah Permenungan tentang Kesombonganku terhadap Mereka

Diperbarui: 29 Februari 2016   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="hikingartist.files.wordpress.com"][/caption]

 

"Karena bukan dari debu terbit bencana dan bukan dari tanah tumbuh kesusahan; melainkan manusia menimbulkan kesusahan bagi dirinya, seperti bunga api berjolak tinggi."

 

-Ayub 5: 6-7

Bumi merupakan tempat yang menjadi pijakan segala makhluk bersukma untuk melangsungkan kehidupan dan aktivitas biotik. Segala makhluk hidup yang memijakkan kaki di atasnya, berusaha untuk saling berinteraksi agar keseimbangan ekosistem dapat terjaga. Namun, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang kian berkembang, eksploitasi alam pun semakin sering digalakkan demi menciptakan lahan-lahan industri baru. Akibatnya, berbagai macam bencana dapat dirasakan sebagai rentetan panjang dari perkembangan peradaban ini.

Manusia sebagai pemegang mandat tertinggi atas kelangsungan hidup segala makhluk di bumi, tentu menjadi makhluk yang paling unik. Manusia memiliki akal dan budi untuk berpikir dan merasa. Terlebih kemampuannya untuk berpikir, manusia dibekali segala macam ‘perangkat’ agar apa yang dipikirkannya dapat berguna bagi sesama. Setiap manusia yang dibekali akal dan budi, tentu memiliki ideologi atau gagasan yang berbeda-beda dalam memposisikan lingkungan, baik dari bagaimana manusia memandang masalah lingkungan, cara menyelesaikan masalah lingkungan maupun mempertahankan kelestarian lingkungan bagi generasi selanjutnya. Ideologi menjadi salah satu software yang ampuh untuk mengubah kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan. Ideologi terhadap lingkungan dapat timbul untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan lingkungan, mengingat manusia tidak bisa hidup tanpa lingkungan, dan lingkungan pun tidak bisa hidup tanpa manusia. Apalagi di era globalisasi ini, ribuan bahkan jutaan manusia berlomba-lomba untuk menangani masalah lingkungan. Mulai dari kalangan masyarakat yang sebagiannya tergabung dalam LSM melakukan aksi-aksi nyata demi menciptakan lingkungan yang lebih baik lagi. Tak mau kalah, perusahaan-perusahaan berskala besar sampai perusahaan berskala kecil pun turut berupaya untuk menciptakan label ‘go green’ atau ramah lingkungan di setiap aktivitas dan produk yang dibuat. Realitanya, Bila dilihat lebih jauh lagi, perusahaan-perusahaan yang mulai menggalakkan label ‘go green’ di setiap produknya justru menggunakan jargon tersebut sebagai bentuk persaingan yang bersifat kapitalis.

Menurut Eder, adanya identitas ‘green’ telah menjadi aset simbolis yang utama dalam masyarakat  modern yang dapat dihubungkan dengan berbagai macam dasar dari filosofi lingkungan (Buhr & Reiter, 2006:4). Dalam menghadapi kenyataan bahwa kondisi lingkungan semakin hari semakin memprihatinkan, diperlukan beberapa ideologi dan filosofi sebagai dasar manusia untuk mengurai segala permasalahan lingkungan yang terjadi. Warren (1998a) menjelaskan bahwa filsafat lingkungan mengadopsi dua pendekatan dasar filsafat tradisional, yaitu teori-teori konsekuensial (teleologikal) seperti utilitarianisme, serta teori-teori non-konsekuensial (deontologikal) seperti filsafat yang berbasis pada hak (right-based philosophies). Selain mengadopsi dua pendekatan ini, filsafat lingkungan memiliki cabang pendekatan non-tradisional atau yang biasa disebut dengan ekologi mendalam (deep ecology) dan ekofeminisme (ecofeminism) (Buhr & Reiter, 2006:4). Pandangan lain menyatakan bahwa filsafat lingkungan secara umum dapat dibagi dalam dua sudut pandang, yaitu antroposentris (berpusat pada manusia) dan ekosentris (berpusat pada lingkungan). Meskipun dibagi menjadi dua pandangan, keduanya tidak dapat dibandingkan karena adanya perbedaan standar (Attfield, 2003; Purser et al., 1995 dalam Buhr & Reiter, 2006:4). Oleh karena itu, Gray et al. (1996) dalam Buhr & Reiter (2006:5) mengemukakan tujuh klasifikasi mengenai pandangan umum atas hubungan antara organisasi ekonomi, masyarakat dan lingkungan, yakni:

 

Filosofi Antroposentris

1.      Kapitalis Murni meyakini pandangan dominan dalam akuntansi dan keuangan, dimana kewajiban utama perusahaan adalah menghasilkan uang untuk para pemilik modal/pemegang saham;

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline