Lihat ke Halaman Asli

Perempuan di Bawah Terik Matahari

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rombongan perempuan paruh baya bekerja di bawah terik matahari. Buruh tani di Berbah, Sleman, Yogyakarta adalah wanita kuat dan perkasa. Kegiatannya adalah bertanam dan memanen hasil bumi daerah ini. Masa panen adalah empat bulan sekali. Maret 2011 adalah musim panen padi di daerah ini.

Setiap empat bulan sekali para perempuan buruh tani mendapat pekerjaan. Bekerja dari sawah ke sawah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Rombongan ini setiap hari terlihat berjalan kaki menyusuri pematang sawah di daerah ini dengan membawa bekal makanan sederhana, sebuah topi yang biasa disebut caping, dan sabit sebagai alat pemotong. Para perempuan ini mengabdikan dirinya sebagai buruh tani saat musim tanam dan panen padi tiba. Ketika musim tanam dan panen seperti Maret 2011, mereka menjadi tenaga tanam dan panen.

Bulan Maret 2011 ini merupakan bulan rejeki, karena bulan ini para buruh tani daerah Berbah mendapatkan pekerjaannya. Memanen padi kemudian bertanam adalah kegiatan setiap hari yang mereka lakukan hingga awal April 2011. Para perempuan kuat ini bekerja dengan penuh rasa syukur walaupun setiap harinya memperoleh upah Rp 25.000,00. Perempuan di daerah ini menjadi tombak utama dalam pertanian.

Seperti Inem (46), ia bekerja sebagai buruh tani wanita sejak ia berumur 20 tahun. Pekerjaan ini ia tekuni walaupun bukan pilihan hidupnya namun harus ia lakukan untuk menambah penghasilan dalam keluarganya. Warga Jogotirto, Berbah, Sleman ini setiap hari menempuh jarak 500 meter untuk melakukan pekerjaannya. Jarak ini bukan masalah bagi Inem karena memang mereka sudah membiasakan diri dengan perjalanan tersebut. Selain itu, beratnya beban hidup yang harus Inem tanggung setiap hari juga membuat pekerjaan ini menyengkan.

" ya inilah kehidupan orang miskin seperti saya, mau makan saja harus membanting tulang dari pagi hingga sore di sawah" ujar Inem, ibu yang memiliki satu anak ini.

Inem sendiri mengaku, bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp 25.000,00 setiap harinya hanya cukup untuk makan keluarganya. Namun hal ini menjadi beban karena musim panen hanya terjadi tiga kali dalam setahun.

Saat musim panen belum tiba, Inem dan beberapa temannya mencari penghasilan dengan menjadi buruh cuci dan masak di desanya. Hal ini Inem lakukan untuk menyambung hidup. Sungguh kuat dan tegar, wanita ini menjalani hidupnya yang begitu berat. Panas dan terik matahari harus menjadi sahabatnya setiap hari. Hanya dengan bermodalkan sabit sebagai alat pemotong dan caping sebagai penutup kepala ia melakukan pekerjaannya sebagai buruh tani.

Namun ia bersyukur karena banyak orang yang mempercayakan sawahnya untuk ia urus selama tanaman itu tumbuh , sehingga selain menjadi butuh cuci dan masak ia juga merawat dan menjaga sawah milik tetangga yang dipercayakan padanya. Inilah yang ia lakukan disela-sela sembari menunggu musim tanam dan panen. VIN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline