Lihat ke Halaman Asli

Tawuran di Jakarta: Dulu Ajang Silaturahmi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Tawuran, merupakan sebuah fenomena biasa bagi masyarakat kota Jakarta. Kegiatan populer ini biasa dilakukan oleh warga paruh baya, sampai belum paruh baya pun menikmati peperangan ini. Sebenarnya, apa itu tawuran? Apakah tawuran itu wujudnya seperti yang kita lihat ini atau tawuran yang kita lihat sekarang tak lebih dari sebuah perwujudan dari kefrustrasian masyarakat kota Jakarta.

Tawuran, merupakan sebuah turunan makna dari bahawa melayu "awur", atau yang artinya berantakan. Kata Tawuran bisa ditemukan dalam wujud kata daerah Sunda "awur-awuran" yang artinya berantakan. Tawuran sendiri artinya pertarungan yang dilakukan secara berkumpul, bergerombol, menimbulkan banyak suara, sehingga terlihat berantakan, namun ketika bertarung para petarung terlihat sangat tertib, tahu aturan dan tahu batas.

Dalam konsep pertarungan di tawuran yang asli, setiap kelompok harus memilih beberapa orang terbaiknya untuk mewakili bertarung, missal satu kelompok di wakili oleh lima orang. Jadi sepanjang acara hanya 10 org dari dua kelompok ini saja yang bertarung. Ketika pertarungan selesai, para masyarakat yang terlibat bersalaman, menunjukan bahwa waktu telah usai. Itulah konsep tawuran yang sebenarnya. Bagaimana dengan Jakarta? Masihkah konsep perkelahian tawuran dilakukan sesuai dengan fitrahnya?

Konsep tawuran yang ada di Jakarta bukan lagi sebuah konsep perkelahian yang didasari oleh permainan. Konsep tawuran yang ditawarkan oleh Jakarta merupakan sebuah konsep seremonial untuk melakukan balas dendam kepada orang/kelompok masyarakat yang dianggap melakukan hal yang buruk terhadap kelompok lain. Sehingga, konsep awal tawuran yang awalnya untuk menghasilkan silahturahmi, di Jakarta malah untuk mengurangi silahturahmi.

Tawuran dalam konteks sekarang sangatlah jauh tujuannya dari fitrah awalnya. Tawuran yang ada sekarang adalah sebuah usaha memunculkan musuh baru. Pertarungan-pertarungan jalanan dilakukan atas nama perebutan gengsi dan perebutan wilayah kekuasaan. Mungkin saja, konsep tawuran seperti ini terpengaruh oleh kondisi pertarungan antar geng-geng di luar Jakarta yang masuk melalui televisi. Hal ini diindikasikan bahwa jenis pertarungan tawuran di Jakarta persisi dengan konsep tawuran di film The Warrior atau film-film geng impor.

Hal ini diperparah dengan munculnya berbagai "perguruan tawuran" di Jakarta. Bak dunia persilatan, perguruan-perguruan ini mengkader anak-anak muda untuk mencari musuh, dan mencari dendam. Kalau pada masa dunia persilatan pertarungan antar padepokan dianggap biasa atas dasar sparring, tapi sekarang entah apa yang dicari.

Lihat saja SMA-SMA yang mengkader murid-murid barunya, bukan kurikulum yang membuat, tapi para senior-senior yang mengajarkan akan artinya kebencian, gengsi dan pertarungan jalanan. Inilah alasan mengapa tawuran tidak lagi dinikmati oleh rakyat kecil, namun juga oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Sehingga kalau ada teori yang mengatakan bahwa tawuran di Jakarta karena masalah ekonomi, maka itu tak bisa di pakai lagi dengan adanya kasus ini.

Toh, pada akhirnya tawuran menjadi pemandangan unik di Jakarta, sebuah kota Metropolitan. Tuhan pun menciptakan tawuran pasti ada maksudnya, entah untuk mencolek pemimpin kota, atau juga sebagai sarana pemasukan kota kalau tawuran dijadikan festival kota. Tawuran tak perlu dihilangkan, namun cukup dikembalikan ke fitrahnya, ke konsep awalnya, silahturahmi. Itu saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline