Lihat ke Halaman Asli

Jakarta Salah Kelola Sampah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta merupakan barometer kota-kota besar di Tanah Air dan seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan kota yang manusiawi, yang menyediakan kenyamanan  tempat tinggal, berkarya dan berinteraksi antar anggota masyarakatnya. Sayangnya, fenomena ideal ini pada kenyataannya `jauh panggang dari api’, bahkan menyisakan banyak pertanyaan terhadap kemampuan Jakarta untuk ‘memanusiakan’ warganya sendiri. Beban pencemaran yang semakin berat didukung oleh tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi, tata ruang yang tidak proporsional peruntukkannya, sarana transportasi massal yang minim pelayanan, dan sarana/fasilitas umum yang semakin langka menjadikan Jakarta dapat dikatakan berat untuk menyandang kota yang manusiawi.

Lihat data terakhir Dinas Kebersihan Jakarta: dari jumlah sampah Jakarta sebanyak ± 27.966 M³ (6000 ton) per hari, jumlah sampah yang diangkut oleh 757 truk sampah untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah hanya sekitar 25.925 M³. Jadi masih sisa sampah ± 2041 M³ (per hari) yang tak terangkut dan menjadi masalah yang masih menunggu untuk segera diatasi. Belum lagi prediksi dari berbagai kalangan yang menyatakan volume sampah Jakarta akan meningkat sebesar 15% di bulan puasa. Data & angka selalu berubah tapi problem sampah tak pernah selesai. Dari dulu Jakarta selalu bermasalah dengan sampah.

Pengelolaan sampah di Jakarta baru berupa penanganan sampai pada tempat pembuangan akhir, itupun sampai kini Jakarta masih sangat bergantung terhadap satu-satunya TPA di kota lain (Bantar Gebang, Bekasi). Di tempat pembuangan akhir, sampah memang diolah, dengan cara dihancurkan dengan mesin penghancur sampah.  Persoalannya, pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir ini kurang memadai jika dibanding dengan volume. Akibatnya, banyak sampah yang harus menunggu lama untuk sampai masuk mesin penghancur.

Persoalan lain pengolahan sampah di tempat akhir ada pada proses pengolahan. Di saat pengangkutan dan di tempat pembuangan akhir, semua sampah dicampur baik sampah organik maupun yang non organik. Di tingkat rumah tangga atau perkantoran, mungkin sudah ada yang berupaya memilah sampah organik dengan sampah non organik di tempat terpisah. Tapi ketika dinaikkan truk, sampah-sampah organik dan non organik ini mulai bercampur, sampai di tempat pembuangan akhir.

Seakan percuma saja tempat sampah sekarang dibuat dua: sampah kering dan basah (atau sampah organik dan non organik). Hal ini juga yang membuat masyarakat jadi malas untuk belajar memilah sampah. Padahal jika masyarakat sudah ‘pintar’ tentang sampah, tentu akan sangat membantu proses manajemen pengelolaan sampah.

Sampah organik adalah yang mudah membusuk atau mengurai di alam bebas, umpamanya daun, sisa makanan, dan kertas. Sampah non organik adalah yang tak mudah atau sama sekali tak bisa hancur, misalnya plastik dan kaca. Jika dipilah, kedua jenis sampah tersebut bisa dicari pemanfaatannya. Contoh: sampah organik dijadikan pupuk, sampah non organik (plastik) didaurulang jadi produk baru.

Ada juga ide pemanfaatan sektor swasta untuk menangani pengelolaan sampah, dimana biaya akan dipungut tergantung volume dan tipe sampahnya (limbah rumah tangga/industri). Yah, apapun rencananya, yang jelas solusi bagi masalah sampah di Jakarta harus benar-benar bermanfaat bagi kita semua, karena kita tidak mau Jakarta menjadi identik dengan sampah kan?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline