Lihat ke Halaman Asli

Jakarta Kita, Medan Perang Kita

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok Foto: Kompas.com) Tawuran antar warga di ibukota kembali pecah. Akhir pekan lalu (3/7), hingga selasa dini hari, kawasan Pasar Rumput, Jakarta Selatan, menjadi ajang bentrokan warga Menteng Tenggulun dengan Pasar Rumput. Alhasil, daerah tersebut telah tiga hari menjelma menjadi medan 'pertempuran' antar warga; masyarakat kita yang dikenal sebagai murah senyum, dalam sekejap berubah layaknya centeng. Dua kelompok 'centeng' warga itu saling serang, baku pukul, lempar batu dan bom Molotov, bahkan ada sebagian yang terlihat menggunakan senapan angin. Tidak jelas sebab-musababnya, tidak diketahui dengan pasti siapa yang memulai, "perang" begitu saja terjadi. Tawuran sepertinya sudah menjadi bentuk pelampiasan frustrasi orang Jakarta atas kehidupan mereka yang tidak kunjung membaik. Perkara sebab-musababnya memang bukan hal penting lagi bagi mereka yang terlibat dalam aksi saling-serang. Yang penting adalah mempertahankan "harga diri", meski takaran "harga diri" itu tak pasti dan tak jelas benar. Yang penting adalah menunjukkan semangat "heroik", karena mereka mungkin tidak lagi menemukan sosok "sang hero" pada pemimpin formal di republik ini, di ibukota ini-sosok pahlawan yang bisa menjadi tempat berkeluh-kesah dan sandaran untuk menyelesaikan problem keseharian mereka. Kiranya jelas, yang dibutuhkan Jakarta saat ini bukanlah perilaku 'centeng' yang menindas sesama, tapi perilaku 'Jawara' yang berjuang untuk sebuah nilai kebaikan. Tawuran adalah salah satu sisi gelap Jakarta, selain banyak sisi gelap lainnya semacam premanisme, banjir, macet, polusi udara, dan sejenisnya. Sesungguhnya, tak terhitung sudah berapa kali pecah tawuran antar warga, termasuk yang melibatkan pelajar dan mahasiswa. Tak terhitung pula berapa jumlah kerugian akibat aksi tawuran tersebut. Polda Metro Jaya hanya berhasil mencatat, tawuran warga selama satu semester ini mencapai 35 kejadian di Jakarta dan sebagian Bekasi. Angka tersebut berpotensi meningkat dibanding tahun lalu yang mencapai 74 kejadian. Bahkan jika dibandingkan dengan kejadian tahun 2009 yang hanya 16 kasus, frekuensi tawuran meningkat lebih dari 100 persen! Jika dirunut lebih jauh, akar tawuran adalah rasa frustrasi akibat kesulitan hidup. Warga yang terbelit kesulitan hidup, yang kalah dalam kompetisi memperebutkan kue ekonomi, mencari pelampiasan dengan menunjukkan sisi paling 'centeng' dalam diri mereka. Jakarta butuh perilaku bijak 'Jawara', bukan perilaku beringas 'centeng'. Meningkatnya frekuensi tawuran adalah penanda bahwa ibukota bukan lagi tempat yang ramah, aman, dan nyaman bagi warganya. Selamat datang di Jakarta: Ibukota Kita, Medan Perang Kita!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline