"Hei sayang, lihat itu banyak sekali container2 bertuliskan -bantuan presiden ri- yang lewat. Sukurlah, akhirnya presiden kita membantu". Dialog singkat yang mampu kulontarkan kala melihat jejeran mobil - mobil container lewat berlawanan arah dengan kami. Mobil - mobil container itu tak bisa dibilang kecil, cukup menampung sekitar 50 orang didalamnya, bayangkan. Ekpektasiku terlampau tinggi untuk bantuan itu, semoga bukan "bantuan" yang mengecewakan.
4bulan kufikir cukup menguras hati dan tenaga bagi penyintas erupsi sinabung. Tak banyak aktifitas yang mampu mereka lakukan, kebun sudah bisa dipastikan seribu persen gagal panen, rumah - rumah yang ditinggalkan tentunya sudah tebal dengan debu vulkanik, anak - anak yang notabene bersekolah sekitar desa yang terkena serangan debu vulkanik pastinya tak akan bisa menikmati belajar seperti biasa disekolah. Kerugian paling utama kufikir memang "MATERI", karenanya bisa berefek pada kejiwaan dan mental penyintas.
Hampir 2 bulan juga aku hilir mudik, lalu lalang disekitar pengungsian untuk "mungkin" hanya sekedar menghibur anak - anak dengan kegiatan yang kami tawarkan. Atau "mungkin" hanya sekedar datang dan bertanya kabar dengan anak - anak yang pernah berkegiatan dengan kami. Atau "mungkin" hanya ingin sekedar menyaksikan fenomena lava pijar yang banyak diunduh para seniman - seniman penikmat cahaya.
Wara wiri disekitar pengungsian, aku disuguhkan berbagai atraksi kepentingan - kepentingan tersembunyi beberapa orang. Semisal, bantuan endomi berlogokan caleg DPR RI maupun DPRD, tak seberapa yang diberi tapi tuntutan logo begitu besar. "Penyintas" seperti dihimpit berbagai kepentingan - kepentingan. Memanfaatkan kelemahan demi kursi empuk digedung - gedung terhormat. Tak jarang juga terlihat begitu banyak spanduk dan banner bertuliskan nama lembaga - lembaga yang membantu penyintas. Seperti acakadut disetiap posko pengungsian, lebih acakadut ketimbang penyintasnya sendiri.
Kota menjadi semrawut, acakadut, tak sedap dipandangan mata. Tapi, beberapa hari yang lalu tak tau tepatnya kapan, jalanan menjadi seperti disulap. Bersih, poster - poster lambat laun menghilang, spanduk - spanduk satu satu diturunkan. Ada apa ini? Begitu kataku. "Papi Beye mau datang sayang", begitu lantunan indah yang keluar dari bibir seseorang yang kukasihi. "Ohhh,, pantes" hanya kalimat itu saja yang nampaknya pantas kukeluarkan.
Orang "nomor wahid" yang akan berkunjung itu mengharuskan tatanan kota berada pada posisi normal kembali, yang pada dasarnya seperti memasukkan batu besar kedalam botol kecap ukuran 500ml. sulit. But it works!! Semua dipaksa berada pada jajaran "aman terkendali". "Bantuan Presiden RI" itu menjadi "suap" yang tak tersembunyi bagi penyintas. Artinya, "kelen sambut aku dengan sebaik mungkin, ini bantuan aku kasi untuk kalian". Hahahaha,, itu dialog imajinasiku.
Beberapa jam setelah menapaki jejak di medan dari pengungsian, aku melihat update'an status teman disalah satu social media kelas kakap. "Membeberkan" bantuan yang katanya dari orang nomor satu disejagad indonesia ini. Isinya lumayan fantastis, luar biasa dan diluar ekspektasi tinggiku. Mungkin aku bisa membuat sedikit list untuk bantuan - bantuan tersebut :
1. Beras tanpa merek 5 kg
2. Gulaku 1 kg.
3. Indomie Ayam Bawang 10 bks.
4. Makanan bayi SUN sari buah 1 kotak kecil.
5. bubuk teh sari wangi 1 kotak isi 25.
6. Astor wafer coklat 1 kotak kecil.
7. roti kaleng merk oops Hotsa.
8. Aqua 1 botol isi 600 ml.
9. Susu coklat Indomil.
10.Wafer keju 1 bks kecil.
11.Pronas Cornet isi 340 gram.
12. top kopi 1 lsn.
Semua tersusun rapi dalam tas kain yang cukup cantik dengan tidak lupa menyertakan tulisan "Bantuan Presiden Republik Indonesia". Melihat "isi" yang cukup fantastis itu, aku cuma bisa elus dada, tutup mata, dan berlalu. Aku cukup tau apa yang sedang penyintas butuhkan, rasanya forum tempat aku bernanung sudah membuat "Situation Report of Sinabung" entah sudah nomor yang keberapa. Aku sampai lupa, saking banyaknya.
Beberapa hari lagi, orang nomor "wahid" itu akan berkunjung kepengungsian. Semua sibuk berbenah, setiap pengungsian dibersihkan oleh "Dinas - Dinas" yang terkait. Dalam hatiku, "kenapa gak setiap hari saja mereka membersihkan itu. Bukankah penyintas lebih membutuhkan itu ketimbang papi beye yang notabene cumak numpang bernafas beberapa saat saja disana". Semua sibuk memikirkan kedatangan beliau, hingga lupa bahwa sinabung tak pernah berhenti menyemburkan debu vulkanik yang memporakporandakan desa mereka. Mereka sampai lupa bahwa sekarang sudah lebih dari 20 ribu penyintas memenuhi setiap posko - posko pengungsian dengan perlengkapan yang bisa kubilang tak layak.
Begitulah negriku, negri berjuta "kepentingan"!!