Lihat ke Halaman Asli

Hary Tanoe Gagal: Mau Mundur atau Dimundurkan?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13988548031058730904

[caption id="attachment_322048" align="aligncenter" width="620" caption="tempo.co"][/caption]

Pileg pada 9 April kemarin, telah berhasil dilaksanakan dengan relatif baik, lancar dan demokratis. Tingkat partisipasi pun diindikasikan meningkat berdasar perhitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survey, antara lain Indonesian Research Center (IRC) yang mengatakan, kemungkian besar tingkat Golput pada pileg 2014, berada dibawah angka golput pada pileg 2009, yang hampir 30%. Selain tingkat Golput yang diprediksi menurun, yang juga mengejutkan dari hasil perihitungan cepat adalah perolehan suara partai Hanura yang mengecewakan.

Beberapa hal yang mengecewakan bagi partai Hanura, yaitu; Pertama, NasDem yang sebagai partai baru dan dengan Ketua Umumnya yakni Surya Paloh yang tidak begitu memiliki ketokohan yang kuat, berhasil menjadi partai menengah dengan raihan suara di atas partai Hanura yang merupakan partai Oposisi dan mempunyai ketokohan yang cukup kuat dari Ketua Umumnya yakni Wiranto. Kedua, PDIP yang dengan efek Pencapresan Jokowi yang tidak signifikan dan Golkar dengan kasus lumpur lapindo yang melibatkan perusahaan Ketua Umumnya, yakni Aburizal Bakrie, serta ditambah lagi kedua partai ini yang dinilai banyak kadernya tersangkut kasus korupsi, lagi-lagi berhasil berada diatas partai Hanura yang nyatanya relatif bersih dari korupsi. Ketiga, partai Gerindra yang Ketua Umumnya, yakni Prabowo Subianto yang dinilai telah melakukan pelanggaran HAM, yang kurang lebih sama penilaiannya terhadap Wiranto, nyatanya lagi-lagi tetap berhasil meninggalkan jauh raihan suara Hanura. Keempat, partai-partai Islam seperti PKB, PKS, PPP, PAN yang diprediksi akan keluar dari senayan, karena beberapa kasus korupsi dan tidak begitu kuatnya materi, serta cairnya basis massa partai tersebut, lagi-lagi tetap berhasil mengalahkan partai Hanura yang didukung dengan materi serta berbagai perusahaan media massa yang dimiliki Hary Tanoe dengan jumlah karyawannya, kurang lebih sebanyak 30.000 orang.

Dari fakta dan sedikit analisis dari saya, yang menarik dari hasil pileg ini ialah pada kenyataannya partai Hanura dapat dinilai partai yang paling gagal atau menerima konsokuensi terburuk diantara partai yang lain. Hanura sebagai partai oposisi dengan berbagai kekuatan yang dimilikinya hanya berhasil meraih suara satu digit yakni sekitar 5%. Dan ini membuat saya menjadi tertarik mengevaluasi Hanura berdasarkan literatur dan informasi dari media serta kawan-kawan yang terlibat didalamnya.

Informasi yang saya peroleh dari loyalis kader Hanura pada malam tadi setelah pencoblosan, dengan perolehan suara sebesar satu digit atau 5%, orang yang paling pertama dan utama disalahkan ialah Hary Tanoe sebagai Ketua Bappilu, kemudian baru Wiranto sebagai Ketua Umum. Dan pagi nya terbukti melalui pernyataan kader serta petinggi Hanura yakni Fuad Bawazier yang mengatakan Hary Tanoe membuat Hanura bangkrut. Mengapa demikian? Ini pun juga akan mengungkapkan apa yang menjadi kekeliruan dan kesalahan Hary Tanoe.

Pertama, secara kritis dan jujur dikatakan, tujuan Hary Tanoe berpolitik bukanlah untuk perubahan akan tetapi untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Hal ini dapat dilihat dari, beberapa kontroversi kasus korupsi Hary Tanoe, diantaranya kasus Sisminbakum, Bhakti Investama dan TPI. Maka menjadi tuntutan dan kebutuhan Hary Tanoe untuk berpolitik serta berkuasa demi mengamankan kasus-kasus dari usahanya dan mengakumulasi keuntungan bisnisnya. Dan ini juga dapat dilihat sebelumnya, dimana dalam melakukan usahanya, Hary Tanoe selalu merapat kepada penguasa.

Dan inilah yang membuat Hary Tanoe, jatuh pertama kalinya. Keluarnya Hary Tanoe dari NasDem karena sesat pikirnya yang ingin menguasai Partai NasDem dan menjadi Cawapres yang diusung Partai NasDem. Hary Tanoe merasa dengan kekuatan materinya saja, sudah cukup menjadi modal berpolitik, padahal dirinya tidak mempunyai basis masa yang cukup kuat. Dan ini terus membuat Hary Tanoe kerap keliru dalam berpolitik.

Kedua, Hary Tanoe bukan pemimpin yang mampu dan sanggup merawat kadernya. Hal ini terlihat, setelah Hary Tanoe keluar dari NasDem, dan membentuk Ormas Persatuan Indonesia (Perindo) dengan menjanjikan pengikutnya untuk mendukung mereka menjadi caleg nantinya seperti yang digadang-gadang, akan memberi modal sebesar 5M-10M, ternyata bohong besar.

Informasinya, hanya beberapa pengikutnya yang ditempatkan menjadi Caleg. Dan itu pun tidak diberi dukungan materi. Dan pengikutnya yg lain di Perindo tidak diberdayakan alias ditelantarkan. Karena Hary Tanoe lebih memilih orang-orang terdekatnya dari perusahaan MNC untuk menjalankan program-progrmnya di Hanura. Ini menyebabkan pengikutnya lari dan meninggalkan Perindo dan tidak mendukung dirinya. Dan juga menyebabkan kader Hanura tidak begitu simpati kepadanya.

Ketiga, di Hanura pun, karena mindset berpolitik sama dengan perusahaan dan pengalaman kecewa di Partai NasDem, Hary Tanoe sibuk membesarkan dirinya sendiri dan takut rugi. Langkah yang diambilnya adalah dengan, menjadi Ketua Bapilu yang mempunyai Hak Otoritas dalam pengaturan strategi pemenangan Partai Hanura, yang membuat Hary Tanoe hanya melaksanakan program yang berkaitan dengan Win-HT. Tetapi support kepada sayap partai untuk rekruitmen, kaderisasi, dan program-program nyata untuk membesarkan Hanura melalui tangan-tangan kadernya, tidak dilakukan Hary Tanoe.

Keempat, Hary Tanoe merasa cukup dengan memasifkan penggunaan media yang dimilikinya untuk kampanye Win-HT dan Hanura. Hary Tanoe seakan tidak menyadari dan belajar, bahwa politik itu kerja nyata didarat dengan melakukan sebanyak-banyaknya perekrutan, kaderisasi yang terukur dan program-program yang populis, seperti yang dilakukan Partai oposisi lainnya yakni PDIP dan Gerindra.

Hary Tanoe terlalu percaya diri dengan mengiklankan dirinya yang bukan tokoh disenangi pemilih kebanyakan di Indonesia yang masih berkarakter tradisional dengan melihat kedekatan emosional etnis dan agama. Ditambah lagi dengan dipasangkan bersama Wiranto, tokoh yang berlatar belakang militer dan telah kalah 2 kali dalam pilpres pada 2004 dan 2009 dianggap banyak pemilih atau rakyat Indonesia, tidak mempunyai tampang dan nasib sebagai Presiden atau pun Wakil Presiden.

Kelima, banyak kader loyalis Hanura, menganggap Hary Tanoe hanya melaksanakan program pemenangan partai yang sifatnya klise, salah satunya Kartu Asuransi Kematian. Banyak Caleg tidak menggunakan Kartu Asuransi ini, karena banyak pemilih yang menganggap, program ini sama saja menyumpahkan pemilih untuk mati. Kartu Asuransi ini dinilai program Pemberi Harapan Palsu (PHP). Ini merupakan strategi Hary Tanoe, tidak mau rugi materi. Karakter Hary Tanoe seperti ini berlanjut ketika pada hari pemilihan, Hary Tanoe tidak membayar uang saksi yang sudah dijanjikan, hasilnya fatal banyak TPS yang tidak dihadiri atau dikawal oleh saksi yang berasal dari partai Hanura.

Dengan begitu, menjadi wajar bahwasannya semua kader loyalis dan simpatisan Partai Hanura menyalahkan Hary Tanoe untuk strategi politiknya. Dan terbukti, peran Hary Tanoe tidak signifikan. Sampai Yudi Crishnandi mantan Ketua Bapillu Hanura yang digantikan Hary Tanoe, mengatakan bahwa strategi Hary Tanoe sebagai Ketua Bappilu, telah keliru dari awal. Ditengah pemilih yang sudah cerdas, harusnya Wiranto sebagai Ketua Umum Partai Hanura dapat berhitung seperti partai oposisi yakni PDIP dan Gerindra atau bahkan partai baru seperti NasDem yang mempunyai sistem perekrutan, kaderisasi, program dan sikap yang jelas dalam berpolitik.

Nasi telah menjadi bubur, untuk Hanura dan Wiranto kini hanya ada 2 pilihan; Pertama, cukup untuk pilpres nanti. Hanura harus bersikap Ksatria dengan menjadi mitra koalisi dari Gerbong pemenang tiga besar yang ada, tanpa terus memaksakan “lawakan” Win-HT atau dari sekarang berani menyatakan sikap untuk menjadi Partai Oposisi kembali. Kedua, mulai dari sekarang, Hanura membenahi, proses rekruitmen, kaderisasi dan program-program partai yang menarik simpati pemilih serta rakyat Indonesia. Tentunya ini juga harus diiringi dengan perubahan struktural dan kultural yakni meminta Hary Tanoe untuk mundur dan keluar dari Hanura, karena telah gagal membawa perubahan dan memberi dampak signifikan.

Apabila Hary Tanoe tidak mundur, niscaya Hanura akan ditinggalkan oleh mayoritas kader loyalis dan simpatisannya yang telah berjuang dan mendukung Hanura dan Wiranto sedari awal. Kini hanya waktu yang akan menjawab, apakah Hary Tanoe akan mengundurkan diri?. Atau para kader Hanura yang akan memundurkannya secara tidak hormat?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline