Lihat ke Halaman Asli

Vina Nur Hanifah

Mahasiwa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

POLEMIK PENGESAHAN RUU CIPTAKER DAN RESPON MASYARAKAT

Diperbarui: 15 November 2020   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh : Vina Nur Hanifah

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki begitu banyak produk hukum dalam acuan pemerintah untuk menjalankan sistem pemerintahannya. Saat ini di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah telah mengeluarkan dua rancangan undang-undang yang dalam prosesnya tidak sedikit menuai konflik antara pemerintah dan masyarakat sipil. Sebelumnya di bulan September 2019 pemerintah mengeluarkan produk hukum berupa Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) yang menimbulkan gejolak demonstrasi di seluruh wilayah Indonesia akibat isi kandungannya yang memiliki banyak pasal kontroversi (Tirto.id, 2020 April 24), kini pemerintah telah menyusun kembali RUU kedua yakni Omnibus Law RUU-Cipta Kerja.

Perlu kita ketahui bahwa, omnibus law ini merupakan penggabungan dari 76 undang-undang dan 1200 pasal (Kompas.com, 23 April 2020) yang bertujuan untuk menyatukan berbagai macam undang-undang menjadi satu kesatuan agar tidak terjadi tumpang tindih aturan hukum mengenai ketenagakerjan serta berguna sebagai perlindungan hukum untuk memudahkan investasi dari negara lain yang masuk ke Indonesia agar sistemnya tidak berbelit-belit dan merepotkan. Oleh karena itu dengan adanya aturan hukum seperti ini diharapkan mampu untuk memberikan peluang kerja yang luas bagi masyarakat Indonesia yang nantinya akan memberikan dampak baik bagi sistem perekonomian negara.

Namun dalam realitasnya penyusunan Omnibus Law RUU-Cipta Kerja yang dicoba pemerintah ini terkesan buru-buru tanpa melibatkan suara dari masyarakat sipil dan stake holder lainnya seperti: aktivis buruh, aktivis HAM, aktivis lingkungan, serikat ketenaga kerjaan, ataupun kelompok masyarakat sipil lainnya. Kurangnya partisipasi politik dan komunikasi yang dibangun pemerintah terutama pada masyarakat kelas bawah yang pada hakikatnya terpaut secara langsung dengan RUU-Cipta Kerja ini menyebabkan dampak yang signifikan yang bermanifestasi dalam keresahan dan serta penolakan melalui aksi demonstrasi yang dilakukan secara berkala oleh buruh dan mahasiswa.

Hal ini pun disebabkan pula oleh Presiden Joko widodo yang menargetkan DPR RI untuk merancang Undang-Undang omnibus law dapat rampung dalam kurun waktu 100 hari saja. Sementara itu, Omnibus Law sendiri digagas dengan harapan mampu untuk memberikan kelapangan dan kemudahan dalam menanamkan investasi bisnis di Indonesia yang nantinya akan memberikan efek domino bagi sistem perekonomian Indonesia. Hanya saja keinginan kerja cepat yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo tersebut ber-paradoks menjadi kesan yang penuh ketergesa-gesaan dan hanya kejar tayang. Seperti ingin kilat rampung tetapi banyak aspek yang tidak terakomodir dengan tepat sesuai sasaran.

Tidak hanya itu dalam pengesahannya DPR RI pun terlalu bersemangat dan sangat terburu-buru sampai mampu untuk memajukan tanggal persidangan menjadi 5 Oktober 2020. Pengesahan ini disahkan pada sidang paripurna I Tahun sidang 2020- 2021, kemarin pukul 17.52 WIB dengan pimpinan sidang yaitu Ibu Puan Maharani selaku ketua umum DPR RI mengetuk palu yang menjadi pertanda bahwa RUU Cipta Kerja ini telah disahkan sebagai undang-undang resmi dalam mengatur tenaga kerja di Indonesia (Tirto.id, 2020 14 Oktober) di tengah keprihatinan dan krisis ekonomi akibat pandemi Corona Virus Disease (COVID-19).

Adapun fenomena RUU Cipta Kerja ini dalam pengesahannya menuai polemik yang panas baik didalam struktur pemerintahan maupun masyarakat. Dua dari sembilan fraksi partai ini menolak adanya pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang diusung oleh DPR RI yakni pada fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan fraksi Partai Demokrat (PD). Sejak di sahkannya RUU Cipta Kerja (Ciptaker) oleh DPR RI, saat ini keputusan terakhir berada di pihak Presiden Republik Indonesia yakni bapak Joko Widodo untuk menekan persetujuannya mengenai RUU Cipta Kerja (Ciptaker) dalam kuasanya selama 30 hari sesuai dengan Pasal 73 UU No 12 Tahun 2011 tentang penyusunan perundang- undangan.

Tidak hanya itu menurut evaluasi dari Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) dalam proses penyusunan omnibus law ini secara totalitas prosesnya sangatlah tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Sehigga tidak terdapatnya keterlibatan masyarakat sipil secara luas dalam penyusunan RUU Cipta Kerja melalui metode Omnibus law ini memberikan gambaran bahwa tidak terlaksananya asas atau prinsip pembentukan Undang-Undang yang baik dan benar di Indonesia, yang mana asas tersebut dinyatakan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 mengenai partisipasi publik yang berisi: seluruh lapisan masyarakat memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pada fakta tersebut, maka dapat kita lihat dalam perspektif pemikiran tokoh sosiologi modern yaitu Ralf Dahrendorf dalam Teori Konflik. Menurut asumsi pemikirannya, masyarakat mempunyai dua wajah yakni konflik dan konsensus yang tidak akan terlepas satu sama lain Dahrendorf (1959,1968). Selain itu menurut pemkirannya tidak ada masyarakat yang tidak berkonflik dan tidak berkonsensus. Sebab konflik dan konsensus ini merupakan syarat terjadinya suatu masyarakat. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak mungkin terjadi konflik tanpa konsensus. Ia juga menganggap bahwa masyarakat ini bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Disatu sisi teori konsensus bermanfaat untuk menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoriritis konflik digunakan untuk menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan tersebut.

Adanya konflik di masyarakat dapat membangun intensitas serta kekerasan. Intensitas yang dimaksud disini merujuk pada “tenaga dan tingkat keterlibatan yang di dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkonflik”. Sehingga tiap-tiap individu yang berkonflik ini memiliki keterhubungan yang tinggi. Pada konsep intensitas yang dikemukakan oleh Dahrendorf, peran individu pada suatu kelompok ini dapat dinilai melalui tolak ukur keterlibatan mereka didalamnya. Selanjutnya yang menjadi variabel utama yang pengaruh intensitas merupakan tingkat kesamaan konflik di berbagai asosiasi masyarakat serta tingkat mobilitasnya. Selanjutnya konsep kekerasan yang di maksud ini merujuk pada alat-alat yang dapat digunakan bagi maisng-masing pihak yang bertentangan untuk mencapai tujuannya. Kekerasan dapat dilakukan melalui negosiasi yang tenang dan dapat juga melalui kekerasan fisik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline