Sebelum pelaksanaan pemilihan umum pada 14 Februari 2024 mendatang, mungkin masih ada yang bingung menentukan siapa kandidat yang akan dipilih di bilik suara. Sepengetahuan saya, biasanya orang-orang memiliki kriteria tertentu sebelum ahirnya mantap memilih pasangan nomor 01 atau 02 atau 03.
Kriteria yang dipertimbangkan biasanya beragam. Ada yang mempertimbangkan berdasarkan kesamaan suku, agama dan latar belakang identitas lainnya. Ada juga yang mempertimbangkan dari track record kepemimpinan sebelumnya hingga program. Misalnya bagaimana program yang ditawarkan kandidat tertentu dalam mengentaskan kemiskinan, pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Keputusan apapun yang menjadi pertimbangan, menurut saya adalah hal yang sangat wajar. Selama kita tetap mengacu pada prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berkaitan dengan pergantian kekuasaan ini, saya ingin sedikit menyoroti tentang salah satu isu krusial yang dihadapi oleh Indonesia yakni kemiskinan.
Fase transisi kekuasaan ini sebenarnya merupakan momentum yang pas untuk memperbaharui dan menata berbagai kebijakan publik. Misalnya, dalam beberapa tahun ke belakang saya pernah beberapa kali mendapat curhatan dari warga sekampung yang tidak mendapatkan program bantuan sosial, padahal dirinya menganggap layak menjadi menerima bantuan. Sebaliknya, ia bercerita bahwa tetangganya yang dianggap mampu, malah mendapatkan program tersebut.
Saya berpikir bahwa cerita ini bukan hanya dialami oleh satu atau dua orang saja. Bisa jadi di kampung pembaca semuanya, ada banyak orang juga masyarakat miskin yang belum terperhatikan nasibnya.
Cerita di atas sebenarnya ingin saya jadikan sebagai pengantar kepada inti dari tulisan ini bahwa betapa data berperan penting dalam menetukan solusi atau kebijakan yang akan diambil atas sebuah isu/permasalahan. Oleh karenanya, data yang akurat adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
Kita mungkin berpikir, mengapa program bantuan sosial ini banyak yang tidak tepat sasaran. Bisa jadi salah satu persoalannya adalah data. Contohnya seperti ini, bagaimana kita menentukan bahwa kemiskinan menjadi sebuah urgensi yang harus diselesaikan ketika kita tidak memiliki data yang benar terkait itu.
Jadi, apabila dikatakan persentase kemiskinan Indonesia berjumlah 9,36% pada tahun 2023 sementara Bank Dunia menyebut persentasinya sebesar 40%, maka persoalannya terletak pada bagaiaman dua lembaga tersebut menghadilkan data, bagaimana pengukurannya dan bagaimana penentuan standarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menetapkan standar dalam menentukan penduduk miskin. Standar tersebut yakni apabila seseorang memiliki pengeluaran sebesar Rp 550.458 per bulan atau bahkan kurang, maka orang tersebut dikatakan sebagai masyarakat miskin. Sementara itu, Bank Dunia menetapkan standar yang berbeda. Penduduk yang dikatakan miskin menurut Bank Dunia adalah mereka yang pengeluarannya sebesar US$ 2,15 atau kurang.
Nah, dari contoh sederhana ini dapat terlihat bahwa penentuan standar kemiskinan yang berbeda akan berimplikasi pada persentase kemiskinan yang berbeda pula. Dari perbedaan perhitungan di atas dapat terlihat bahwa standar yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia lebih kecil dibandingkan standar kemiskinan yang ditentukan oleh Bank Dunia. Jika kurs yang digunakan sebesar Rp 15.230, maka pengeluaran harian yang menjadi acuan adalah Rp 32.745.