Lihat ke Halaman Asli

Vina Fitrotun Nisa

partime journalist

Agroboy dan Agrogirl sebagai Model Pemberdayaan Petani Masa Depan

Diperbarui: 22 Juli 2020   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (Sumber: Shutterstock via digination.id)

Beberapa puluh tahun ke depan ancaman ketahanan pangan dan energi akan bersama-sama menjadi permasalahan serius. Mengapa demikian? Karena cadangan batubara yang dimiliki Indonesia diprediksi akan bertahan 80 tahun lagi.

Sedangkan penggunaan batubara sebagai pembangkit listrik masih sangat tinggi dibanding sumber energi terbarukan. Menurut PLN proporsi batubara masih berada di angka 61 persen.

Ini berarti bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembakaran batubara akan terus terjadi selama proporsi penggunaan energi terbarukan masih rendah. Kedua pangan akan memiliki peran ganda dalam kehidupan. Yakni sebagai makanan dan sebagai sumber energi terbarukan.

Di tengah kondisi tersebut, ternyata pertanian masih memegang peranan penting sebagai tulang punggung perekonomian nasional, karena menggerakkan sektor usaha makanan dan minuman.

Selain itu Presiden Joko Widodo memiliki visi "making Indonesia 4.0" yang menjadikan industri makanan dan minuman sebagai salah satu prioritasnya. Dengan begitu otomatis industri hulu harus diperkuat sebagai penyuplai bahan baku.

Faktor-faktor produksi pertanian seperti petani, teknologi pertanian, serta lahan nampaknya belum siap menghadapi perubahan yang dicita-citakan. Lahan pertanian seperti yang gencar diberitakan setiap tahun terus mengalami alih fungsi menjadi bangunan.

Tak usah jauh-jauh, jika kita membandingkan kehidupan di desa 10 tahun ke belakang, pasti sangat berbeda dengan kondisi sekarang karena masifnya pembangunan. Apalagi di kota yang tanahnya hampir seluruhnya tertutup aspal.

Sejak 1991, alih fungsi lahan pertanian subur di Pulau Jawa mulai marak. Banyak lahan pertanian berubah menjadi perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana lainnya. Padahal, potensi pengembangan sawah beririgasi relatif terbatas. (Pikiran Rakyat/Ade Mamad)

Keadaan ini diperparah dengan lemahnya regenerasi petani dan rendahnya teknologi pertanian yang digunakan. Dalam beberapa laporan penelitian diungkapkan bahwa petani sudah tak ingin lagi meregenerasi pekerjaannnya kepada anaknya.

Hal ini diakibatkan oleh tingginya ketidakpastian dan risiko yang ditanggung oleh petani. Selain itu petani dianggap sebagai pekerjaan yang kurang menguntungkan. Oleh sebab itu diperlukan suatu cara pandang serta model petani kontemporer.

Hal tersebut sangat dibutuhkan karena kelak profesi petani akan semakin berkurang. Sebaliknya kebutuhan akan pangan akan semakin meningkat karena laju populasi penduduk yang semakin bertambah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline