Berbagai penolakan terhadap rancangan undang-undang ketahanan keluarga setidaknya dapat dijadikan dua indikator penting. pertama masih minimnya produk kebijakan yang mengarah pada kepentingan perempuan. kedua munculnya resistensi di masyarakat mencerminkan tingginya kepedulian terhadap nasib perempuan yang tidak ingin kondisi saat ini mengalami kemunduran dengan ditetapkannya aturan yang dinilai diskriminatif.
Karena salah satu pasal dalam RUU tersebut dinilai diskriminatif. Secara substansi RUU ketahanan keluarga sebenarnya memiliki tujuan yang sangat baik, namun pertanyaannya mampukah negara secara formal melakukan intervensi terhadap keutuhan rumah tangga, dalam hal ini penulis justru menggarisbawahi masih minimnya aturan yang merepresentasikan kepentingan perempuan di parlemen
Sejak diterbitkannya UU No 2 Tahun 2008 yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat, nasib perempuan berkiprah dalam ranah sosial dan politik semakin terbuka lebar peluangnya. 4 kali pemilihan umum berlangsung sejak digulirkannya aturan ini yakni pemilu tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019 akselerasi keterwakilan perempuan di ranah eksekutif maupun legislatif semakin terlihat peningkatannya hal ini terbukti dengan indikator peningkatan keterwakilan perempuan di DPR.
Misalnya tahun 2004, dari total 550 kursi DRP RI 65 kursi diduduki oleh perempuan, pada pemilu tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 101 kursi, dan tahun 2014 turun lagi menjadi 97 kursi dan tahun 2019 meningkat pesat menjadi 118 dari 575 kursi
Partisipasi dan keterwakilan perempuan memang terus meningkat dalam setiap pemilihan, namun berbagai evaluasi saat ini mulai disiskusikan, khususnya mengenai kelanjutan peran keterwakilan tersebut. Apakah keterwakilan perempuan di parlemen hanya sampai pada tahapan representatif tanpa membawa aspirasi dan kemajuan bagi perempuan itu sendiri.
Berkaca aturan-aturan sebelumnya yang berhasil diperjuangkan seperti Undang-Undang KDRT, perdagangan manusia dan lain sebagaianya, ternyata masih banyak pekerjaan rumah dan evaluasi terhadap undang-undang sebelumnya yang harus segera diselesaikan. Seperti undang-undang mengenai cuti hamil dan melahirkan yang perlu diperpanjang, kurangnya layanan konsultasi pernikahan yang diselenggarakan secara gratis, dan perlindungan bagi kesehatan ibu dan bayi di daerah terpencil.
Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi mengenai alasan mengapa perempuan harus berpolitik, serta berbagai tantangan yang muncul dalam pra dan pasca pemilihan, kemudian bagaimana partisipasi tersebut berdampak terhadap produk kebijakan. Apakah perempuan mampu mempengaruhi dan membuat kebijakan yang mendukung kepentingannya atau hanya dijadikan batu loncatan dan alat legalitas partai politik untuk memenuhi kuota 30%.
Sementara itu disisi lain terdapat berbagai peran perempuan dalam politik yang tidak selalu diaktualisasikan melalui proses pemilihan formal, seperti gerakan perempuan, komunitas dan LSM yang dapat bergandengan bersama DPR untuk mengawal kebijakan yang memihak kepada kepentingan perempuan, juga memiliki dampak signifikan dalam menyerap aspirasi langsung dari bawah.
Urgensi perempuan dalam berpolitik telah banyak diulas. hadirnya aturan yang melindungi dan menjamin partisipasi perempuan dalam politik adalah keberhasilan dari jerih payah dan perjuangan kolektif organisasi serta gerakan perempuan. namun saat ini muncul berbagai kritik mengenai aturan "affirmative action" yang lebih mengutamakan kuantitas sehingga minim esensi. Dampak substansial yang paling diharapkan dari masuknya perempuan kedalam pusaran kekuasaan adalah supaya ia mampu mengakomodir kepentingan perempuan. karena DPR memiliki fungsi legislasi dan anggaran yang mampu mengubah nasib dan menyelesaikan masalah perempuan melalui aturan.
#Politik
#Keterwakilanperempuandiparlemen