Lihat ke Halaman Asli

Gender dalam Perspektif Islam

Diperbarui: 17 November 2022   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diskusi tentang gender di dasawarsa sepuluh tahun terakhir ini, telah mewarnai dunia publik. Namun masih sering terjadi kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud gender, terutama bila dikaitkan dengan konsep gender dalam perspektif Islam. Lebih dari itu, konsep gender dan tulisan-tulisan tentangnya berdasarkan kajian tafsir Al-Qur'an masih langka ditemukan. Padahal diyakini bahwa, Al-Qur'an adalah kitab suci yang sifatnya universal, mencakup berbagai masalah, termasuk masalah gender.

Istilah gender ini, selalu merujuk pada adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan hal tersebut antara lain ditemukan dalam QS. al-Nisa (4), QS. al-Nahl (16): 97, QS. al-Hujurat (49): 13. Ayat-ayat ini pada dasarnya menegaskan bahwa ajaran Islam tidak menganut paham the second sex, yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu.

di samping ayat-ayat yang disebutkan di atas, ditemukan lagi ayat yang secara tekstual membedakan antara laki-laki dan perempuan, yakni QS. Ali Imran (3): 36 yang antara lain redaksinya adalah " (dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan)".

Untuk lebih memahami konsep gender yang terdapat dalam QS. Ali Imran (3):36 yang disebutkan tadi, tentu saja membutuhkan analisis lebih lanjut melalui kajian tafsir tentangnya urgensi dan signifikansinya. Dengan kajian tafsir yang demikian, maka akan dipahami bagaimana konsep gender perspektif Al-Qur'an yang sesungguhnya.

Untuk memahami konsep gender pada QS. Ali Imran (3): 33 tersebut, harus dikaitkan dengan kondisi masyarakat sebelum datangnya Nabi Muhammad saw, yakni keadaan masyarakat di zaman Imran sebagaimana yang telah disinggung. Ketika itu, anak perempuan menurut tradisi yang berlaku di masyarakat, seorang perempuan tidak diperkenankan, dan tidak berhak bertugas di rumah suci Baytul Maqdis. 

Sehingga, bisa dimengerti bahwa ayat tersebut memang memberi pembedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi pembedaan itu hanya berlaku di zaman hidupnya keluarga Imran, dan hanya berlaku pada segi pembatasan perempuan bertugas di Baytul Maqdis ketika itu sebagaimana yang dipahami dari sabab nuzul ayat dan munasabah-nya. 

Sama halnya dengan sebuah riwayat hadits bahwa (tidak akan sukses suatu kaum bila mereka dipimpin oleh perempuan). Menurut Quraish Shihab, hadis ini tidak bersifat umum.

Hadis ini ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu dan di zaman itu, bukan kepada semua masyarakat dan dalam semua urusan. Oleh karenanya, tidak ada larangan boleh tidaknya perempuan menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat di zaman sekarang. Yang demikian ini adalah konsep gender berkenaan dengan kepemimpinan perempuan dalam Islam. 

Jadi tafsir tentang Gender tidak bisa dipahami secara tekstual saja, lalu tidak dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang dituju ayat tersebut, karena yang namanya tafsir sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Namun demikian, kalaupun harus dipaksakan menggunakan tafsir tekstual, maka yang dimaksud ayat tersebut bahwa, laki-laki dan perempuan tidak sama dalam hal jenis kelamin.

Selain itu, dan dalam aneka aktivitas, mereka harus disamakan. Bahkan boleh jadi, perempuan lebih unggul ketimbang laki-laki dalam melakukan aktivitas tersebut. 

Itulah sebabnya, sebelum itu terlebih dahulu disebutkan bahwa, Allah swt lebih mengetahui kedudukan seorang perempuan, yakni Maryam yang baru dilahirkan, dan perempuan ini jauh lebih baik dari kebanyakan laki-laki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline